Tuesday, May 8, 2012

Amankah Terbang Selama Hamil ?


Aku dinyatakan positif hamil di saat aku baru saja pulang dari tugas kantor di Banjarmasin. Padahal seminggu sebelumnya aku juga baru pulang dari Balikpapan. Tes kehamilan pun aku lakukan 3 hari sebelum jadwal  terbangku ke Palembang.

Bulan-bulan itu aku memang dihadapkan pada jadwal tugas luar kota yang sangat padat. Tidak heran aku sampai tidak sempat memperhatikan jadwal menstruasiku. Kalaupun terlambat, aku menganggapnya wajar karena aku sedang sangat sibuk dan mungkin kelelahan. Karenanya aku sangat bersyukur masih diberi kepekaan untuk merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tubuhku di tengah kesibukan yang sedang memuncak. Mungkin itu cara janinku berkomunikasi dengan mamanya. Ga kebayang kalo saat itu aku abaikan sinyal-sinyal kehamilanku dan terus tenggelam dalam kesibukan travelling dari satu pulau ke pulau lainnya. Mungkin aku akan kehilangan bayiku ...

Hasil USG menunjukkan bahwa aku positif hamil dengan usia kehamilan sudah memasuki 6 minggu. Janin dan ibunya sehat, kata dokter. Aku sangat bersyukur. Dan sangat kagum pada kekuatan janinku. Ia tumbuh di saat mamanya sedang sibuk travelling dan belum menyadari kehadirannya.

Betapa tidak. Di saat usianya yang masih sangat muda (mungkin baru 3 minggu), ia sudah ikut aku bepergian ke Samarinda. Untuk mencapai Samarinda, aku harus naik pesawat dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Karena aku tinggal di Bandung, berarti aku harus menempuh perjalanan darat terlebih dahulu menggunakan travel dari Bandung ke Jakarta sekitar 4 jam. Setelah terbang sekitar 2 jam, aku landing di Balikpapan. Samarinda adalah ibu kota propinsi Kalimantan Timur. Letaknya 3 jam perjalanan dari  Balikpapan. Untuk bisa mencapai Samarinda, kita harus melewati Bukit Soeharto yang tidak hanya berkelok-kelok tapi juga naik turun karena membelah bukit. 10 jam di jalan sejak dari Bandung – Jakarta – Balikpapan – Samarinda, sungguh perjalanan yang sangat melelahkan ...

Seminggu kemudian, aku kembali terbang ke Tanah Borneo, kali ini ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Memang tidak seruwet perjalanan menuju Samarinda, tapi tetap saja melelahkan. Karena belum tau kalau sedang hamil, aku masih memakai high heels, berjalan cepat  dan menenteng sendiri laptop dan proyektor selama tugas luar kota. Sungguh luar biasa jika di tengah perjalanan dinas seperti itu, aku tidak mengalami keguguran ... Praise The Lord untuk kesempatan menjadi ibu yang masih diberikanNYA ...

HARUSKAH TETAP TERBANG ?

Setelah dinyatakan positif hamil, aku dihadapkan pada dilema antara menjaga kehamilan atau menyelesaikan jadwal dinas luar kotaku. Masih ada beberapa kota yang harus aku kunjungi : Palembang, Pontianak dan Makassar. Setiap kali terbang, aku harus menempuh 4 jam perjalanan darat menuju Jakarta. Belum lagi peralatan perang yang harus aku bawa setiap kali tugas : travel bag, tas tangan, laptop, proyektor. Dan juga pertanyaan, amankah terbang selama hamil?

Menurut  American College of Obstetricians and Gynecologists , perjalanan SESEKALI dengan pesawat terbang telah dinyatakan aman bagi wanita dengan usia kehamilan hingga 36 minggu, dengan syarat tidak memiliki komplikasi di saat hamil atau penyakit penyerta lainnya. Idealnya dilakukan pada usia kehamilan 18 – 24 minggu, karena pada saat itu resiko keguguran telah jauh berkurang kemungkinannya dan tanggal kelahiran masih jauh. Meski demikian, tidak ada data yang menyatakan bahwa melakukan perjalanan dengan pesawat udara bagi wanita hamil berbahaya. Namun memang harus dihindari bagi wanita hamil yang memilik penyakit penyerta kehamilan dan komplikasi kehamilan seperti tekanan darah tinggi yang tercetus akibat kehamilan (pregnancy induced hypertension), preeklampsia, diabetes yang kadar gula darahnya sulit / tidak dikontrol, anemia berat, kehamilan ganda, perut yang sangat meregang, mual muntah yang hebat, ari-ari yang menutupi jalan lahir (plasenta previa) dan lain sebagainya.

Hmm, jika berdasarkan referensi di atas, berarti usia kehamilanku yang masih 6 minggu cukup beresiko untuk melakukan penerbangan, meskipun aku sudah kecolongan dua kali, terbang di saat usia kehamilan baru 3  dan 4 minggu. Faktor kelelahan selama perjalanan juga dapat meningkatkan resiko kehamilanku. Belum lagi barang-barang yang harus aku bawa.

Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya aku mantap menghentikan semua perjalanan luar kotaku. Puji Tuhan atasan dan rekan-rekan kerjaku mengerti. Mereka tahu persis kalau aku belum juga punya anak setelah 4 tahun menikah. Mereka amat maklum kalau saat ini aku memilih memprioritaskan keselamatan bayiku. Sepertinya mereka juga tidak mau mengambil resiko disalahkan jika sesuatu terjadi pada kehamilanku jika perjalanan luar kota itu tetap harus aku lakukan. Kebetulan perjalanan luar kota itu masih dapat di-reschedule dan digantikan oleh stafku.

Syukur pula aku mengambil keputusan itu, karena sesudahnya, kehamilanku ternyata tidak mudah. Gastritis dan heartburn menderaku. Ga kebayang gimana aku bisa bepergian keluar kota dalam kondisi seperti itu.
Aku tidak pernah terbang lagi hingga masa melahirkan tiba, meskipun setelah memasuki trimester kedua, kondisi kehamilanku lebih baik dan usia kandungan sesuai rekomendasi ACOG. Aku memilih ‘jaga kantor’ dan mendelegasikan tugas-tugas luar kota pada dua orang stafku. Dasar emang hobi, sesekali kerinduan untuk travelling mendera ... 


0 komentar:

Post a Comment