This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, May 8, 2012

Amankah Terbang Selama Hamil ?


Aku dinyatakan positif hamil di saat aku baru saja pulang dari tugas kantor di Banjarmasin. Padahal seminggu sebelumnya aku juga baru pulang dari Balikpapan. Tes kehamilan pun aku lakukan 3 hari sebelum jadwal  terbangku ke Palembang.

Bulan-bulan itu aku memang dihadapkan pada jadwal tugas luar kota yang sangat padat. Tidak heran aku sampai tidak sempat memperhatikan jadwal menstruasiku. Kalaupun terlambat, aku menganggapnya wajar karena aku sedang sangat sibuk dan mungkin kelelahan. Karenanya aku sangat bersyukur masih diberi kepekaan untuk merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tubuhku di tengah kesibukan yang sedang memuncak. Mungkin itu cara janinku berkomunikasi dengan mamanya. Ga kebayang kalo saat itu aku abaikan sinyal-sinyal kehamilanku dan terus tenggelam dalam kesibukan travelling dari satu pulau ke pulau lainnya. Mungkin aku akan kehilangan bayiku ...

Hasil USG menunjukkan bahwa aku positif hamil dengan usia kehamilan sudah memasuki 6 minggu. Janin dan ibunya sehat, kata dokter. Aku sangat bersyukur. Dan sangat kagum pada kekuatan janinku. Ia tumbuh di saat mamanya sedang sibuk travelling dan belum menyadari kehadirannya.

Betapa tidak. Di saat usianya yang masih sangat muda (mungkin baru 3 minggu), ia sudah ikut aku bepergian ke Samarinda. Untuk mencapai Samarinda, aku harus naik pesawat dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Karena aku tinggal di Bandung, berarti aku harus menempuh perjalanan darat terlebih dahulu menggunakan travel dari Bandung ke Jakarta sekitar 4 jam. Setelah terbang sekitar 2 jam, aku landing di Balikpapan. Samarinda adalah ibu kota propinsi Kalimantan Timur. Letaknya 3 jam perjalanan dari  Balikpapan. Untuk bisa mencapai Samarinda, kita harus melewati Bukit Soeharto yang tidak hanya berkelok-kelok tapi juga naik turun karena membelah bukit. 10 jam di jalan sejak dari Bandung – Jakarta – Balikpapan – Samarinda, sungguh perjalanan yang sangat melelahkan ...

Seminggu kemudian, aku kembali terbang ke Tanah Borneo, kali ini ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Memang tidak seruwet perjalanan menuju Samarinda, tapi tetap saja melelahkan. Karena belum tau kalau sedang hamil, aku masih memakai high heels, berjalan cepat  dan menenteng sendiri laptop dan proyektor selama tugas luar kota. Sungguh luar biasa jika di tengah perjalanan dinas seperti itu, aku tidak mengalami keguguran ... Praise The Lord untuk kesempatan menjadi ibu yang masih diberikanNYA ...

HARUSKAH TETAP TERBANG ?

Setelah dinyatakan positif hamil, aku dihadapkan pada dilema antara menjaga kehamilan atau menyelesaikan jadwal dinas luar kotaku. Masih ada beberapa kota yang harus aku kunjungi : Palembang, Pontianak dan Makassar. Setiap kali terbang, aku harus menempuh 4 jam perjalanan darat menuju Jakarta. Belum lagi peralatan perang yang harus aku bawa setiap kali tugas : travel bag, tas tangan, laptop, proyektor. Dan juga pertanyaan, amankah terbang selama hamil?

Menurut  American College of Obstetricians and Gynecologists , perjalanan SESEKALI dengan pesawat terbang telah dinyatakan aman bagi wanita dengan usia kehamilan hingga 36 minggu, dengan syarat tidak memiliki komplikasi di saat hamil atau penyakit penyerta lainnya. Idealnya dilakukan pada usia kehamilan 18 – 24 minggu, karena pada saat itu resiko keguguran telah jauh berkurang kemungkinannya dan tanggal kelahiran masih jauh. Meski demikian, tidak ada data yang menyatakan bahwa melakukan perjalanan dengan pesawat udara bagi wanita hamil berbahaya. Namun memang harus dihindari bagi wanita hamil yang memilik penyakit penyerta kehamilan dan komplikasi kehamilan seperti tekanan darah tinggi yang tercetus akibat kehamilan (pregnancy induced hypertension), preeklampsia, diabetes yang kadar gula darahnya sulit / tidak dikontrol, anemia berat, kehamilan ganda, perut yang sangat meregang, mual muntah yang hebat, ari-ari yang menutupi jalan lahir (plasenta previa) dan lain sebagainya.

Hmm, jika berdasarkan referensi di atas, berarti usia kehamilanku yang masih 6 minggu cukup beresiko untuk melakukan penerbangan, meskipun aku sudah kecolongan dua kali, terbang di saat usia kehamilan baru 3  dan 4 minggu. Faktor kelelahan selama perjalanan juga dapat meningkatkan resiko kehamilanku. Belum lagi barang-barang yang harus aku bawa.

Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya aku mantap menghentikan semua perjalanan luar kotaku. Puji Tuhan atasan dan rekan-rekan kerjaku mengerti. Mereka tahu persis kalau aku belum juga punya anak setelah 4 tahun menikah. Mereka amat maklum kalau saat ini aku memilih memprioritaskan keselamatan bayiku. Sepertinya mereka juga tidak mau mengambil resiko disalahkan jika sesuatu terjadi pada kehamilanku jika perjalanan luar kota itu tetap harus aku lakukan. Kebetulan perjalanan luar kota itu masih dapat di-reschedule dan digantikan oleh stafku.

Syukur pula aku mengambil keputusan itu, karena sesudahnya, kehamilanku ternyata tidak mudah. Gastritis dan heartburn menderaku. Ga kebayang gimana aku bisa bepergian keluar kota dalam kondisi seperti itu.
Aku tidak pernah terbang lagi hingga masa melahirkan tiba, meskipun setelah memasuki trimester kedua, kondisi kehamilanku lebih baik dan usia kandungan sesuai rekomendasi ACOG. Aku memilih ‘jaga kantor’ dan mendelegasikan tugas-tugas luar kota pada dua orang stafku. Dasar emang hobi, sesekali kerinduan untuk travelling mendera ... 

Monday, May 7, 2012

Menyetir Saat Hamil



Aku dinyatakan hamil di saat suami sedang terikat jadwal mengajar yang cukup padat di sebuah universitas di Jakarta, sementara kami tinggal di Bandung. Karena jauh dari keluarga besar dan memiliki teman-teman dekat yang terbatas jumlahnya, maka praktis kami terbiasa hidup mandiri dan memenuhi kebutuhan kami sendiri berdua saja. Termasuk saat aku hamil dan harus ditinggal suami ke luar kota.

Sebelum hamil, jika suami tidak sedang keluar kota, aku menjadi supir pribadinya. Kebetulan jam kerja suami lebih pagi dan jam pulang kantornya pun lebih sore, sehingga tugas antar jemput suami menjadi bagianku. Pagi, aku antar suami dulu ke kampusnya sebelum berangkat ke kantorku sendiri. Sorenya, aku mampir ke kampus suami lagi dan menunggunya hingga jam mengajarnya berakhir pukul 6 sore.

Sejak hamil, suami memutuskan untuk membawa motor sendiri sementara mobil tetap aku yang bawa. Tujuannya supaya aku tidak perlu mengantar-jemputnya lagi dan kelelahan karena menunggunya hingga jam 6 sore. Tidak mudah mencapai keputusan ini karena artinya aku harus menyetir sendiri dalam keadaan hamil.

Dengan kondisi kehamilanku di trimester awal yang tidak terlalu mudah –aku mengalami gastritis dan heartburn – menyetir sendiri memang butuh perjuangan ektra. Seringkali aku harus menyetir dalam kondisi lambung perih atau kembung. Belum lagi keruwetan lalu lintas yang harus kuhadapi di sepanjang jalan Pasteur Bandung yang selalu macet setiap kali jam pulang kantor. Aku dituntut untuk tetap konsentrasi menyetir kalau tidak ingin situasi tambah runyam karena nyenggol pengguna jalan lainnya. Hasilnya, aku tiba di rumah dalam keadaan sangat lelah ...

Tidak jarang aku juga harus menyetir sendiri ke tempat praktek Dokter untuk konsul gastritisku yang menjadi-jadi. Lambung perih, hujan pula, fyuuhh .. benar-benar perjuangan ...

TIPS MENYETIR SAAT HAMIL

Jika Moms harus menyetir saat hamil seperti yang aku alami, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum menyetir. Ini beberapa tips tetap aman menyetir saat hamil yang aku rangkum dari pengalaman pribadi dan hasil googling.

1.Siap fisik dan mental 
Pastikan kondisi fisik dan mental kita memungkinkan untuk menyetir. Jangan memaksakan diri, karena akan sangat berbahaya bagi ibu dan janin. Menyetir membutuhkan konsentrasi tinggi dan merupakan kegiatan yang beresiko tinggi jika dilakukan saat hamil. Pastikan kondisi kehamilan Moms memungkinkan untuk menyetir sendiri dan tidak mengalami gangguan kehamilan seperti perdarahan atau kejang perut.

2.Jarak tempuh sebaiknya tidak terlalu jauh
Menyetir membutuhkan konsentrasi tinggi yang menguras energi, dapat menyebabkan ibu hamil kelelahan. Jika harus menyetir jarak jauh, sebaiknya tidak menyetir sendiri (ada yang mendampingi) dan sering berhenti (setiap 30 – 45 menit) untuk beristirahat.

3.Hindari jalan yang berlubang dan tingkat kemacetan tinggi
Jika memungkinkan, sebaiknya hindari melewati jalan yang rusak atau berlubang untuk mencegah terjadinya guncangan yang bisa membahayakan janin. Hindari juga jalan dengan tingkat kemacetan tinggi yang akan membuat ibu hamil stres dan kelelahan. Sedikit memutar lebih baik daripada kita harus duduk dalam mobil yang tidak bergerak berjam-jam karena terjebak macet.

4.Bawa perlengkapan perang
Botol minum, camilan, permen, kipas angin, tissue, handuk kecil, kantung kresek, dll .. pokoknya semua peralatan yang biasanya Moms pakai untuk membuat kehamilan tetap nyaman.

5.Pakai sabuk pengaman dengan benar
Meskipun kadang tidak nyaman, sabuk pengaman tetap harus dipakai. Sebaiknya di bawah perut dan menyilang di dada. Pastikan sabuk tidak menekan perut terlalu keras. Tidak memakai sabuk pengaman sama sekali jauh lebih beresiko dibanding ketidaknyamanan saat menggunakan sabuk pengaman.

6.Atur posisi duduk
Atur jarak antara perut dan setir, jangan terlalu dekat supaya kita bisa bernafas lega dan perut tidak tertekan. Juga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena keluarnya airbag jika kecelakaan terjadi. Atur juga jarak kursi dengan dashbor, pastikan kaki bisa leluasa berpindah pedal tanpa menimbulkan pegal atau aliran darah tidak lancar.

7.Sebelum 7 bulan
Menyetir sendiri dalam keadaan hamil masih dianggap aman hingga usia kehamilan 27 minggu. Paling ideal adalah usia kehamilan 14 - 27 minggu, sebab keluhan mual dan muntah biasanya sudah berkurang serta ukuran perut belum terlalu besar.  Diatas usia itu, sebaiknya kegiatan menyetir sendiri dihentikan demi keamanan ibu dan bayi dalam kandungan.

Melihat kondisiku yang tidak memungkinkan untuk terus menyetir sendiri dan resiko yang bisa membahayakan bayiku, suami memutuskan untuk cuti sementara dari pekerjaannya di Jakarta di semester berikutnya, bertepatan dengan kehamilanku yang memasuki trimester kedua. Ia juga mengatur jam mengajarnya di sebuah kampus di Bandung sedemikian rupa, supaya bisa mengantar jemputku setiap hari.

Ah, leganya ... Makasih ya Pap... 

Saturday, May 5, 2012

Kehamilan dan Sensitif terhadap Bau


Tersiksa oleh Bau Masakan


Selain gastritis dan heartburn , tanda kehamilan lain yang juga aku alami adalah semakin sensi terhadap bau-bauan tertentu. Seharusnya ini tidak akan terlalu mengganggu kalo aja sensitifitas yang meningkat bukan terhadap BAU MASAKAN .

Suer, sensitif terhadap bau masakan itu menyiksa banget lo, Moms ... Secara masak memasak adalah akitivitas rutin yang emang biasa aku lakukan sendiri di rumah sebelum hamil.

Aku mulai merasakannya ketika usia kehamilanku memasuki 8 minggu. Awalnya hanya perasaan tidak nyaman setiap kali mengupas bawang, terutama bawang putih. Kemudian meningkat di saat aku mulai menumis atau menggoreng sesuatu yang berbumbu. Aku harus menutup hidung pakai tangan atau pakai sapu tangan. Karena ribet, akhirnya terpaksa pakai masker. Lama-lama, aku harus betul-betul menghentikan acara masak memasak  karena hidung bener-bener nggak bisa mentolerir lagi bau masakan.

Karena sebelum hamil aku memang tidak mempekerjakan asisten rumah tangga, akhirnya untuk memenuhi asupan makanan homemade yang sehat dan bergizi, mama datang dari Malang untuk membantuku. Syukurlah akhirnya mama datang, karena sesudahnya, sensitivitasku terhadap bau masakan semakin menjadi-jadi.

Setiap pagi saat mama mulai menyiapkan sarapan, ‘penderitaanku’ dimulai. Terbangun oleh bau masakan yang masuk lewat celah-celah pintu, kemudian diikuti perasaan tidak nyaman, eneg dan akhirnya mual. Meskipun jendela sudah dibuka, mual itu tidak serta merta hilang. Belakangan aku harus ‘mengungsi’ ke teras depan untuk menghindari sumber bau. Ga cukup sekedar mengungsi, aku masih harus bawa kain untuk menutup hidung. Tak jarang aku tertidur di teras karena masih mengantuk. Sarapanpun akhirnya dilakukan di teras. Dan karena sudah kadung mual mencium bau masakan, selera makan pun lenyap tak bersisa. Terpaksa menelan makanan dengan bantuan air putih . Dan yang paling repot kalau sedang bepergian. Mual bisa tiba-tiba muncul hanya karena lewat depan food court / resto / warung.

Pertanyaannya, kenapa ya ibu hamil bisa jadi sangat sensitif terhadap bau tertentu, padahal  sebelumnya bisa diterima dengan baik?

Ternyata, penyebabnya adalah hormon estrogen. Estrogen seringkali dihubungkan dengan peningkatan daya penciuman seorang wanita, bahkan yang tidak sedang hamil sekalipun.Saat hamil, level hormon estrogen wanita akan meningkat tajam. Estrogen dibutuhkan untuk membantu meningkatkan aliran darah, menjamin bayi dalam rahim yang sedang tumbuh memperoleh cukup nutrisi. Selain membantu mempertebal dinding rahim untuk mempersiapkan implantasi, estrogen juga memainkan peran yang penting dalam meningkatkan ukuran rahim secara keseluruhan.

Seperti yang dilansir Kompas , sebuah studi oleh Philadelphia's Monell Chemical Senses Center di AS mengatakan bahwa wanita di usia subur memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap aroma dibandingkan pria. Pada  grup wanita yang level estrogennya lebih rendah dibanding wanita subur (seperti perempuan di bawah usia pubertas dan wanita di atas usia menopause) ternyata memiliki sensitivitas daya penciuman yang sama dengan pria.

Saat level estrogen wanita naik-turun, begitu pun sensitivitas daya penciumannya. Ketajaman penciuman wanita naik-turun selama siklus menstruasi dan masa ovulasinya, sama seperti saat kehamilan. Sayangnya, para ilmuwan belum yakin bagaimana mekanisme kerja estrogen terhadap sensitivitas penciuman wanita hamil. Apakah estrogen mengubah sensitivitas itu di bagian otak yang mengatur penciuman atau perubahannya terjadi di hidung.

Beberapa peneliti percaya bahwa sensitivitas terhadap penciuman dan perasa itulah yang mengakibatkan morning sickness pada wanita hamil, yang berakibat pada penolakan terhadap makanan yang mengandung zat kimiawi dan racun yang bisa berbahaya bagi janinnya. Hal ini yang membuat wanita hamil sangat sensitif terhadap bau-bauan dan rasa rokok, alkohol, sayuran pahit, dan minuman berkafein. Beberapa data menunjukkan, perempuan yang mengalami mual memiliki risiko keguguran yang rendah, menguatkan teori bahwa hidung sensitif menjaga keamanan bayi.

Jadi, sensitif pada bau adalah hal yang sering terjadi pada wanita hamil, meskipun tingkatannya berbeda-beda. Syukurlah aku hanya bermasalah dengan bau masakan. Betapa tersiksanya kalo masih harus ditambah sensi terhadap bau badan sendiri, bau badan suami, fragrance yang biasa dipakai, dll ....

Wednesday, May 2, 2012

Dokter Obgyn Pilihanku


Sebagai seorang tenaga medis yang akan membantu kita menjalani masa-masa kehamilan selama 40 minggu dan masa persalinan, wajar kok kalau sebagai pasien, kita menetapkan syarat-syarat khusus dalam memilih Dokter Kandungan ( Obgyn ). Tapi tentu saja tidak semua kriteria yang kita tetapkan, dapat kita temukan pada diri seorang Dokter Obgyn.

Ini kriteria yang aku tetapkan pada saat   mencari Dokter Obgyn yang tepat , bahkan hingga harus berganti Dokter Obgyn sebanyak 6 kali.

1.Praktek di RSIA dan dicover asuransi
Ga mau rugi dong, secara inikan fasilitas kantor. Apalagi biaya konsul ke Dokter Obgyn selama kehamilan tidak sedikit. Aku memilih dokter yang praktek di RSIA yang cukup ternama tapi tidak terlalu jauh dari tempat tinggal atau kantor, karena biasanya aku kontrol kehamilan sore hari sepulang kerja.

2. Dokter Obgyn wanita
Aku merasa lebih nyaman dan tenang mempercayakan pemeriksaan kehamilanku pada seorang Dokter Obgyn wanita. Apalagi jika diperlukan pemeriksaan organ reproduksi dalam. Ini aku alami waktu kehamilanku memasuki trimester ketiga. Aku terkena vaginitis yang sangat sulit sembuh sehingga setiap kali datang berobat, Dokter harus membersihkan miss V-ku dari jamur yang membandel. Hmm ga kebayang kalau saat itu aku ditangani oleh Dokter Obgyn pria. Kok rasanya engga banget yah ...

3.Usia 
Aku sengaja mencari Dokter Obgyn wanita separuh baya, yang pastinya juga pernah mengalami kehamilan seperti yang sedang aku alami saat itu. Menurutku, Dokter yang secara keilmuan memang memliki kapabilitas di bidangnya dan juga pernah mengalami langsung proses kehamilan itu, lebih mantap dibandingkan Dokter Obgyn pria maupun wanita yang hanya bermodalkan ilmu pengetahuan, tanpa pernah merasakan langsung pengalaman menjadi ibu hamil. Dokter Obgyn wanita yang seperti ini biasanya lebih mudah berempati terhadap keluhan-keluhan kita.

4.Pengalaman 
Tentu saja Dokter yang berpengalaman di bidangnya adalah harapan kebanyakan pasien. Kita biasanya menilai poin ini dari banyak sedikitnya pasien yang antri di ruang tunggu. Aku sendiri sengaja tidak menempatkan poin ini menjadi syarat pertama memilih seorang Dokter Obgyn. Aku tipe pasien yang tidak terlalu fanatik terhadap Dokter yang terkenal, karena menurutku memilih Dokter itu cocok-cocokan. Meskipun ia terkenal, tidak menjamin akan langsung sreg dan pas di hati (aku sudah sering membuktikannya). Aku juga enggan harus menunggu terlalu lama, salah satu konsekuensi menjadi pasien dari Dokter terkenal yang pasiennya bejibun. Atau harus ribet mendaftarkan diri jauh-jauh hari saking panjangnya antrian pasien.

Aku lebih suka berkonsultasi pada Dokter dengan jumlah pasien sedang. Waktu tunggu hanya 1-2 jam, dokter pun biasanya lebih punya waktu untuk mendengarkan keluhan-keluhan kita ataupun diajak berdiskusi, karena antrian pasien yang tidak terlalu panjang.

5.Komunikasi
Ini kunci penting memilih Dokter Obgyn. Masa kehamilan yang tidak sebentar, membuat komunikasi yang baik dengan Dokter Obgyn akan sangat membantu bumil menjalani kehamilan dengan tenang dan nyaman. Dokter Obgynku harus orang yang mau mendengarkan keluhan-keluhan dan pertanyaanku dengan sabar. Dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaanku, aku membutuhkan Dokter Obgyn yang bisa diajak diskusi, bukan pembicaraan satu arah saja. Ini yang tidak kutemukan pada beberapa orang Dokter Obgyn yang sempat kutemui di awal-awal kehamilanku, sehingga aku memutuskan untuk tidak lagi menemuinya.

6.Konsep dan Idelologi yang sama
Faktor ini juga tak kalah pentingnya. Menemukan Dokter Obgyn yang memiliki konsep yang sama mengenai kehamilan dan persalinan sangat membantu bumil menjalani kehamilannya dengan mantap. Sangat tidak nyaman memiliki Dokter yang suka memaksakan kepentingannya, misalnya memaksa kita minum susu ibu hamil, mengharuskan kita menjalani persalinan dengan operasi Sesar padahal tanpa indikasi yang jelas, tidak pro ASI dan IMD, dll.

Syukurlah setelah berkelana mencari dokter yang pas di hati hingga mendatangi 5 dokter Obgyn , dokter keenam yang aku temui memenuhi seluruh kriteria yang aku tetapkan di atas .

Tuesday, May 1, 2012

Memilih Dokter Obgyn : Praktek Di RS atau Praktek Pribadi ?



Kehamilan selama 40 minggu menjadikan Dokter Kandungan atau Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi / Obgyn  adalah sosok dokter yang akan dikunjungi oleh ibu hamil secara rutin. Diperkirakan seorang ibu hamil selama masa kehamilan dan persalinannya, akan menemui Dokter Obgyn sebanyak 14 kali. Konsultasi secara berkala ditetapkan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pada umumnya semakin dekat waktu persalinan, maka semakin sering dan intensif dilakukan pemeriksaan.

Jika tidak ada keluhan khusus, biasanya frekuensi pemeriksaan berkala kehamilan diatur sebagai berikut :
1. Usia kehamilan  0 – 12 minggu : periksa setiap 3  - 4 minggu
2. Usia kehamilan 13 – 28 minggu : periksa setiap 2 minggu
3. Usia kehamilan 29 - 40 minggu : periksa setiap 1 minggu

Karenanya, sangat penting untuk bisa ‘menemukan’ Dokter Obgyn yang tepat, supaya kita sebagai ibu hamil dapat menjalani kehamilan dan persalinannya dengan aman, tenang dan nyaman.

Nah, faktor apa saja yang harus dipertimbangkan dalam menemukan Dokter Obgyn yang tepat? Berikut tips-tipsnya.

Rumah Sakit atau Praktek Pribadi

Praktek Dokter Obgyn banyak tersebar di Rumah Sakit, baik rumah sakit umum maupun rumah sakit ibu dan anak ataupun tempat praktek pribadi, seperti di rumah bersalin, apotek, klinik bersama dan lain sebagainya. Pilih yang mana?

Aku pribadi memilih Dokter Obgyn yang berpraktek di Rumah Sakit.
Ini alasannya :

1. Fasilitas Asuransi Kesehatan
Ini hal pertama yang akan menentukan ke dokter Obgyn mana kita akan memeriksakan diri. Bagi Moms yang akan menggunakan fasilitas asuransi kesehatan yang bisa untuk klaim rawat jalan, sangat penting untuk mengetahui rumah sakit mana saja yang sudah bekerja sama dengan provider asuransi kesehatan yang kita miliki. Pilihan rumah sakit dan dokter Obgynnya memang menjadi lebih terbatas dibandingkan Moms yang membayar sendiri biaya pemeriksaan kehamilannya.
Karena asuransi kesehatan yang diberikan kantor hanya dapat dilayani di Rumah Sakit, maka biar ga rugi, aku memilih dokter Obgyn di Rumah Sakit, secara pemeriksaan kehamilan kan memakan waktu sampe 9 bulan 

2. Terintegrasi dengan Semua Fasilitas RS
Dokter Obgyn yang praktek di Rumah Sakit terintegrasi dengan semua fasilitas yang dimiliki rumah sakit. Sehingga jika ada pemeriksaan atau tindakan medis yang harus segera dilakukan, Dokter dapat segera menghubungi bagian-bagian terkait di rumah sakit. Misalkan diperlukan analisa laboratorium, pemeriksaan USG 3 atau 4 dimensi, CTG (Cardiotocography) atau lainnya.

3. Terintegrasi dengan Dokter Spesialis lainnya
Dokter Obgyn yang praktek di Rumah Sakit juga terintegrasi dengan Dokter Spesialisasi lainnya yang juga berpraktek di Rumah Sakit tersebut. Hal ini memudahkan kita sebagai pasien jika Dokter Obgyn memerlukan konsultasi dari Dokter lain, misalnya perlu dirujuk ke Dokter Internist, Anesthesi atau lainnya. Hemat waktu dan tenaga karena tidak perlu jauh-jauh mencari dokter rujukan.

4. Integrated Medical Record
Salah satu keuntungan menjadi pasien sebuah Rumah Sakit adalah memiliki rekam medis yang lengkap dan detil. Sehingga jika diperlukan penanganan oleh Dokter lain, dokter dapat mengetahui riwayat kesehatan kita dengan lengkap tanpa kita repot-repot menjelaskan kembali dari awal. Dengan demikain, penanganan pun dapat dilakukan dengan optimal.

5. Fasilitas yang Lebih Nyaman
Rumah Sakit biasanya memiliki fasilitas yang lebih nyaman dibanding praktek dokter pribadi.

  • Ruangan tunggu dan ruang praktek dokter ber-AC. Sangat membantu ibu hamil yang mudah kepanasan.
  • Ruang tunggu yang lebih luas dengan jumlah kursi yang lebih banyak. Membuat bumil dapat duduk lebih nyaman tanpa harus berdesak-desakan dengan pasien lain karena jumlah kursi yang terbatas.
  • Parkir yang luas, bahkan beberapa Rumah Sakit memiliki lahan parkir di basement. Bumil bisa turun dari kendaraan dengan tenang dan didampingi suami atau keluarga lainnya, bahkan di saat hujan deras sekalipun. Tidak perlu drop off, buru-buru turun atau takut tersambar kendaraan lainnya.
  • Lift atau eskalator . Bumil tidak perlu kuatir kelelahan kalau harus berpindah ruangan  di lantai yang berbeda.
  • Cafetaria, mini shop, kantin, cafe. Jika diperlukan makan dan minum selama menunggu, fasilitas ini sangat membantu bumil memenuhi kebutuhannya.

Sementara hal-hal tersebut biasanya tidak didapatkan di Dokter praktek pribadi :
1. Tidak semua tempat praktek dokter pribadi memiliki fasilitas pendukung yang lengkap.
2. Praktek dokter bersama biasanya hanya diisi oleh beberapa dokter spesialis.
3. Rekam medis disimpan oleh masing-masing Dokter yang kita kunjungi, tidak terintegrasi satu sama lain.
4. Fasilitas terbatas dan kurang nyaman : ruang tunggu sempit dan kursi terbatas, parkir tidak luas, dll.

Rumah Sakit Umum atau Rumah Sakit Ibu dan Anak ?

Aku lebih memilih Rumah Sakit Ibu dan Anak. Kenapa?

1. Segmented Patient
Sesuai dengan namanya, pasien RSIA biasanya adalah wanita, ibu hamil, bayi dan anak-anak. Penyakit yang dikeluhakan pun hanya seputar masalah kewanitaan, ibu hamil dan penyakit yang biasa diderita bayi dan anak-anak. Kita tidak akan bertemu dengan pasien penyakit jantung yang sedang anfal atau penderita dengan infeksi yang berat.

2. Tenaga Medis tersedia 24 jam
Hampir setiap jam, ada saja Dokter Obgyn yang praktek, sehingga pasien dapat selalu ditangani. Menjelang malam, ada IGD dan bidan yang stand by 24 jam.

3. Fasilitas Pendukung Lengkap
Karena memang memfokuskan diri pada perawatan ibu dan anak, fasilitas pendukung yang berhubungan dengan penyakit yang diderita ibu dan anak pada RSIA biasanya juga cukup lengkap. Seperti USG 2, 3 atau 4 Dimensi, CTG, laboratorium, radiologi, dll.

4. Program pendukung ibu hamil
RSIA biasanya dilengkapi dengan program-program yang dapat dimanfaatkan ibu hamil selama kehamilan dan menanti persalinan, seperti senam hamil, kelas persiapan menyusui, kelas perawatan bayi, dll.

5. Lebih Nyaman
Suasana Rumah Sakit biasanya lebih tenang, tidak hiruk pikuk seperti RSU. Bertemu dengan pasien yang rata-rata wanita dan anak-anak juga menyebakan bumil merasa lebih tenang karena berada dalam atmosfir keluarga.

6. Persiapan Persalinan dan Perawatan Kesehatan Anak
Kita dapat booking kamar untuk persiapan persalinan sejak jauh-jauh hari. Setelah lahir pun, bayi dapat segera ditangani oleh ahlinya dan fasilitas yang mendukung.

Nah, Moms pilih yang mana?

Monday, April 30, 2012

Perjalanan Mencari Dokter Obgyn yang Tepat



SETELAH 5 DOKTER OBGYN

Kehamilan selama 40 minggu menjadikan Dokter Kandungan atau Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi / Obgyn  adalah sosok dokter yang akan dikunjungi oleh ibu hamil secara rutin. Diperkirakan seorang ibu hamil selama masa kehamilan dan persalinannya, akan menemui Dokter Obgyn sebanyak 14 kali. Konsultasi secara berkala ditetapkan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pada umumnya semakin dekat waktu persalinan, maka semakin sering dan intensif dilakukan pemeriksaan.

Jika tidak ada keluhan khusus, biasanya frekuensi pemeriksaan berkala kehamilan diatur sebagai berikut :
1. Usia kehamilan  0 – 12 minggu : periksa setiap 3  - 4 minggu
2. Usia kehamilan 13 – 28 minggu : periksa setiap 2 minggu
3. Usia kehamilan 29 - 40 minggu : periksa setiap 1 minggu

Karenanya, sangat penting untuk bisa ‘menemukan’ Dokter Obgyn yang tepat, supaya ibu dapat menjalani kehamilan dan persalinannya dengan aman, tenang dan nyaman.

Aku punya pengalaman unik dalam perjalanan ‘menemukan’ Dokter Obgyn yang sreg di hati. Setelah 5 Dokter Obgyn dan usia kehamilan 19 minggu, aku akhirnya bisa menetapkan pilihan pada satu Dokter Obgyn yang memenuhi syarat yang aku tetapkan untuk membantuku selama menjalani proses kehamilan hingga persalinan.

Ini kisahnya ...

Dokter Obgyn Pertama

Kunjungan pertamaku ke Dokter Obgyn terjadi tanggal 22 November 2010 di RS Mitra Kasih Cimahi, setelah test urine pagi harinya mengkonfirmasi bahwa aku hamil. Karena fasilitas asuransi kesehatan yang disediakan kantor  yaitu Inhealth , hanya bisa dilakukan di rumah sakit dan tidak di praktek pribadi, maka pagi itu aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke RS Mitra Kasih Cimahi, rumah sakit terdekat dari rumah.

Aku ditangani oleh dr L, SpOG, seorang Dokter Obgyn perempuan, usia sekitar 40-an, ramah dan cukup telaten memeriksaku. Beliau menanyakan riwayat menstruasiku dan kapan tanggal menstruasi terakhir yang masih aku ingat. Informasi ini diperlukan Dokter untuk menentukan usia kehamilan. Dokter juga menanyakan keluhan-keluhan yang aku alami, sebelum akhirnya melakukan pemeriksaan dengan USG.

Hasil USG membenarkan hasil tes kehamilan menggunakan urine yang aku lakukan tadi pagi. Aku dinyatakan hamil dengan usia kandungan sudah 6 minggu dan tanggal perkiraan persalinan adalah tanggal 17 Juli 2012.

Meskipun saat awal kehamilan aku belum merasakan gastritis seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku sempat menginformasikan riwayat gastritis yang kuderita sebelum hamil kepada Dokter. Dokter cukup tanggap dengan membekaliku resep obat antasida yang bisa aku minum jika suatu saat gastritisku kumat.

Dokter Obgyn Kedua

Masalah mulai muncul ketika seminggu  setelah dinyatakan hamil, gastritisku mulai sering kumat yang disertai dengan gejala perih lambung dan kembung. Meskipun dari Dokter Obgyn pertama aku sudah dibekali obat antasida, entah mengapa saat itu aku ragu-ragu untuk meminumnya. Aku memilih mengabaikan gejala yang muncul meskipun gejala-gejala itu membuatku sangat tidak nyaman dan merasa tidak sehat. Mungkin ini naluri untuk melindungi janinku dari kontak dengan obat-obatan yang (aku pikir) tidak perlu.

Ternyata aku hanya sanggup bertahan selama 2 hari menghadapi gastritis yang kambuh tanpa diobati. Karena sudah tidak tahan lagi, bersama suami sore itu aku diantar ke seorang Dokter Obgyn perempuan yang membuka praktek pribadi di sebuah apotek. Aku terpaksa tidak bisa kembali konsul ke dr. L, dokter Obgynku yang pertama karena beliau hanya praktek di RS Mitra Kasih Cimahi pagi hingga siang hari dan pada kunjungan pertamaku kemarin, aku lupa menanyakan tempat praktek pribadinya.

Setelah menunggu 20 orang lebih, akhirnya tiba juga giliranku untuk diperiksa. Dokter melakukan prosedur yang sama seperti Dokter Obgyn pertama, menanyakan riwayat menstruasiku, tanggal menstruasi terakhir dan diakhiri dengan pemeriksaan USG.

Kepanikan muncul ketika Dokter tidak menemukan sebentuk janin di rahimku melalui pemeriksaan USG. Heeeh??? Kok bisa??? Beberapa kali kulihat Dokter menggulirkan probe-nya untuk menemukan posisi yang tepat agar janin terlihat. Tapi tetap saja sang janin tidak kelihatan.

“Ibu keliatannya kurang minum ya?” kata Dokter. “Masa sih Dok?” sahutku. Sepertinya kok aku sudah minum cukup banyak air ya, batinku. “Iya, janin bisa jadi nggak kelihatan di USG karena ibu kurang minum. Jadi, sekarang ibu keluar dulu, minum yang banyak, kalo sudah kepengin pipis, nanti bilang susternya supaya masuk lagi untuk diperiksa. “

Doooeeenngggg .... Aku dan suami keluar dari ruang praktek dokter sambil saling menatap bingung. Kecemasan terlihat jelas di mata suamiku. Aku tahu yang ia rasakan. Ia pasti kuatir dan takut kehilangan sukacita dan harapan akan kehadiran seorang anak yang sempat kami rasakan seminggu terakhir ini.

Sambil berusaha menenangkan suamiku dan berkata semua akan baik-baik saja, aku minta dibelikan air mineral. Suamiku datang dengan 2 botol air mineral ukuran 600 ml dan 1 botol ukuran 1,5 L. Pelan-pelan aku mencoba menghabiskan air mineral  itu dan berharap rasa kepengen pipis segera muncul supaya kami tidak perlu menunggu terlalu lama lagi. Setengah jam kemudian, setelah berhasil menghabiskan 2 botol @ 600 ml, rasa kepengen pipis itu akhirnya muncul. Di ruang tunggu tinggal 2 pasien lagi termasuk aku. Ah, rasanya lelah sekali harus menunggu berjam-jam seperti ini ...

Dokter kembali memeriksa kandunganku dengan USG. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan sebentuk embrio di rahimku yang tampak melalui monitor. Legaaa rasanya ...

Begitu keluar dari ruang praktek dokter dan membaca isi kertas resep yang dituliskan Dokter (inilah enaknya jadi Apoteker, bisa baca dan menilai isi resep sebelum ditebus, hehe)  kembali aku mengerutkan kening. Dokter meresepkanku obat mual-muntah dengan bahan aktif Ondansetron. Hmm, untuk apa ya? Setahuku, aku tidak mengalami mual-muntah sampai harus terapi menggunakan ondansetron. Kan keluhanku hanya seputar gejala gastritis yaitu perih lambung dan kembung?

Iseng aku minta petugas apotik menghitungkan harga resep itu jika aku tebus. Tiga ratus ribu rupiah!!! Wooww ... aku harus kehilangan uang sebanyak itu untuk membeli obat yang tidak tepat indikasi?? Hmm, engga deh ...

Aku putuskan untuk tidak menebus resep itu dan tidak kembali lagi ke Dokter Obgyn ini ...

Dokter Obgyn Ketiga

Gastritis menerorku terus dari hari ke hari. Setelah kejadian kunjungan Dokter Obgyn yang kedua, akhirnya aku memutuskan menggunakan obat antasida yang pernah kuterima dari Dokter Obgyn yang pertama. Gejala gastritis memang menghilang setelah pemakaian antasida, sayangnya tidak bertahan cukup lama.

Tepat di hari ulang tahunku, 2 Desember 2010, gastritisku kembali kumat parah-parahnya. Kelelahan sepulang dari kantor ditambah stres yang tidak kusadari karena ditinggal suami tugas keluar kota, membuat lambungku terasa sangaaaat periiihh ... Aku sampai menangis saking tidak tahannya. Karena kuatir melihat keadaanku, akhirnya mama mengajakku untuk berobat (lagi) ke dokter.

Kembali karena gejala baru kurasakan sore hari, aku tidak bisa berobat ke Dokter Obgyn pertamaku di RS Mitra Kasih. Datang lagi ke Dokter Obgyn kedua rasanya enggan dan kapok. Akhirnya aku memutuskan untuk berobat ke Dokter Obgyn ketiga, seorang Dokter Obgyn lain yang juga kelihatannya cukup terkenal karena antrian pasiennya cukup panjang.

Kali ini Dokter Obgynnya laki-laki, dr. UG., SpOG. Terpaksa berobat ke situ karena aku tidak punya referensi dokter lain yang tempat prakteknya tidak jauh dari rumah. Ditambah perih yang seperti mengiris-iris lambung, membuatku pengen cepat-cepat ditangani dokter.

Kembali aku harus menjalani pemeriksaan USG (untuk yang ketiga kalinya dalam kurun waktu 2 minggu). Kusampaikan keluhan gastritisku dengan detil, termasuk riwayat pengobatan dari Dokter Obgyn yang pertama dan kedua, dengan harapan pengobatan yang diberikan tidak mengulang lagi dari yang diberikan oleh 2 dokter sebelumnya. Aku mendapat obat antibiotik Amoxicillin dan vitamin.

Setelah mencoba mengingat lagi teori tatalaksana gastritis, akhirnya aku sepakat mencoba obat yang diresepkan oleh dr. UG ini. Mungkin dokter melihat adanya indikasi infeksi Helicobacter pylori sehingga memberiku Amoxicillin. Dan memang setelah beberapa kali minum antibiotik itu, lambungku menjadi lebih nyaman dan aku bisa mengatasi gejala gastritis yang tidak separah sebelumnya.

Aku masih bimbang untuk menjadikan dr. UG ini sebagai dokter Obgyn tetapku. Selain karena prakteknya tidak di rumah sakit, yang artinya tidak dapat diklaim oleh asuransi kesehatan fasilitas kantor, faktor gender juga masih membuatku belum sreg. Pasiennya yang cukup banyak sehingga harus mengantri berjam-jam juga menjadi salah satu bahan pertimbanganku.

Di tengah proses timbang menimbang itu, tidak disangka aku mendapat informasi yang menciutkan hati tentang dokter ini. Menurut informasi atasanku di kantor yang juga seorang dokter, dr. UG ini bukan seorang dokter Spesialis Kandungan. Ia hanya dokter umum yang lama bekerja di poli kandungan.

“Hah, masa sih?” debatku. “Bagaimana bisa seorang dokter umum praktek sebagai spesialis? Kan sudah ada aturannya dari DepKes?”

Penasaran, aku segera mengecek kartu berobat yang aku terima dari suster bagian pendaftaran. Dan terkejut setengah mati karena di kartu berobat itu sang dokter memang tidak mencantumkan gelar yang menunjukkan bahwa dia adalah spesialis obgyn, yaitu SpOG. Aku mulai ragu-ragu, dalam hati mulai percaya pada informasi dari atasanku. Logikanya, gelar adalah identitas seorang dokter. Tidak mungkin ia mengabaikan gelar itu dan tidak mencantumkannya di kartu berobat, kecuali dia memang tidak punya gelar itu.

Semakin penasaran, aku minta suami datang lagi ke apotek tempat sang dokter praktek dan baca lagi plang si dokter, apakah di situ tertulis gelar SpOGnya. Dan ternyata faktanya sama, tidak ada gelar SpOG yang tertulis di belakang namanya.. Heeehhhh ??

Aku langsung memutuskan untuk tidak lagi kontrol kehamilan ke dokter itu...

Dokter Obgyn Keempat

Gastritisku yang semakin menjadi-jadi mendorongku untuk (terpaksa) mencari opini dari Dokter Obgyn lain. Kali ini pilihannya adalah seorang Dokter Obgyn terkenal di RS Borromeus Bandung. Menurut pendapat beberapa orang teman, meskipun seorang pria, dokter ini sangat ramah, telaten dan baik hati. Okay, mari kita coba ...

Aku dipanggil masuk ke ruang periksa disaat pasien sebelum aku masih ada di dalam ruangan itu. Dari mencuri dengar pembicaraan mereka, sepertinya dokter ini memang seperti info-info yang aku dengar. Secercah harapanku muncul, berharap dokter ini bisa menjadi ‘pelabuhan terakhirku’ hingga masa persalinan lagi.

Namun entah apa yang terjadi, begitu tiba giliranku diperiksa, semua deskripsi tentang dokter yang ramah, telaten dan baik hati lenyap seketika. Baru saja aku menceritakan keluhan gastritisku, dengan nada tajam, dokter itu ‘menceramahi’ kami berdua. Dia mengatakan bahwa anak adalah anugerah bagi sebuah keluarga, tidak setiap keluarga diberi kepercayaan punya anak, anak-anak autis banyak disebabkan karena kelahirannya tidak diinginkan, bla...bla...bla...

Aku bengong sebengong-bengongnya ... Penjelasan dokter bener-bener ga nyambung dengan apa yang aku keluhkan. Yang bikin lebih kaget, ketika aku menanyakan apakah ada obat lain selain antasida untuk mengatasi gastritisku, dengan ketusnya sang dokter berucap, “ Kalo ibu minta obat lain, cari dokter lain aja, ga usah datang lagi ke saya ...”

Ooohhh, ga usah disuruh dua kali Dok, saya pastikan ini adalah kunjungan pertama dan terakhir saya  ..., ujarku dalam hati dengan kesal dan tersinggung.

Mungkin hari itu aku memang sedang tidak beruntung. Harus bertemu dengan dokter yang sombong dan sangat menyebalkan, eee.. sampe di kasir, ternyata aku harus bayar pakai uang pribadi karena rumah sakit belum bekerja sama dengan kartu Inhealth tipe yang aku pegang. Nasiibbb ....

Dokter Obgyn Kelima


Pengalaman buruk bertemu Dokter Obgyn yang keempat, membuatku mengevaluasi lagi 4 Dokter Obgyn yang sudah pernah aku temui. Setelah diingat-ingat lagi, sebenarnya aku tidak punya masalah dengan Dokter Obgyn pertamaku. Kendala hanya muncul ketika aku tidak bisa konsul pada beliau di sore hari. Karenanya kutetapkan untuk kembali mengunjungi dr. L, SpOG di RS Mitra Kasih Cimahi sambil memeriksakan kehamilanku yang sudah memasuki bulan ketiga.

Sampai di rumah sakit, kembali aku mendapat surprise. Menurut mbak di bagian Pendaftaran, dokter L ternyata sudah tidak praktek lagi di rumah sakit ini karena pindah ke luar kota. Penggantinya adalah seorang dokter Obgyn pria. Ahhhh ....

Karena sudah terlanjur tiba di rumah sakit, aku memutuskan untuk tetap diperiksa oleh dokter pengganti  Dokter L. Dan kembali harus kecewa karena aku merasa kurang sreg dengan dokter ini ...

Dokter Obgyn Keenam

Rasanya nyaris putus asa menemukan dokter Obgyn yang tepat, sementara kehamilanku terus berkembang dan sudah waktunya kembali kontrol. Akhirnya atas masukan seorang teman kantor, aku datang  ke RSIA Hermina Pasteur Bandung. Menurut temanku itu, di rumah sakit ini, setiap jam tersedia banyak pilihan dokter Obgyn yang praktek, mau dokter wanita ataupun pria, tinggal pilih.

Siang itu, 26 Februari 2012, menurut bagian pendaftaran, terdapat tiga orang Dokter Obgyn perempuan yang praktek. Mbak resepsionis menyebutkan nama-nama dokternya. Aku terdiam beberapa menit, mencoba menajamkan feelingku, sebelum akhirnya aku memutuskan,” Ke dokter T aja deh Mbak.”

Gambling, cuma itu misiku konsul ke dokter Obgyn siang ini. Pasrah adalah misi berikutnya. Hanya berharap feelingku ketika memilih di antara 3 nama tadi tidak salah.

Sambil menunggu giliran, aku mencuri dengar pembicaraan ibu yang sedang membahas si dokter T dengan ibu sebelahnya. Sepertinya recommended Obgyn nih ... pikirku dalam hati.

Puji Tuhan, ketika selesai diperiksa dan keluar dari tempat prakteknya, aku merasakan bahwa pencarianku untuk menemukan dokter Obgyn yang tepat telah berakhir. Dr T, SpOG memenuhi kriteriaku. Ramah, cerdas, telaten, dan yang terpenting, bisa diajak diskusi ...

Sejak itu, aku tidak pernah ganti dokter Obgyn lagi. Dokter T terus membantuku menjalani kehamilanku dengan nyaman dan aman. Beliau pula yang menangani persalinanku melalui operasi sesar. Makasih banyak Dokter T ....

Wednesday, April 25, 2012

Gastritis dan Heartburn Selama Kehamilan


KUTAHAN PERIH INI DEMI JOSH

Beberapa minggu setelah dinyatakan hamil, aku masih bisa menikmati kehamilanku dengan santai. Nyaris tidak pernah kurasakan yang namanya mual – muntah di pagi hari (morning sickness) seperti yang umum dialami oleh ibu-ibu yang sedang hamil muda. Aku masih bisa menikmati kegiatan makan dan beraktifitas normal seperti sebelum hamil.

Sungguh tidak pernah kubayangkan kalau sesudahnya, kehamilan ini menjadi semakin berat kujalani.

Periiihhh ... banget ..

Gastritis (atau yang sering disebut sakit maag) kronis memang sudah lama kuderita sejak masih duduk di bangku kuliah. Maklum, sebagai anak kos dengan aktifitas kuliah dan organisasi yang segudang, pola dan jadwal makanku memang tergolong kacau.

Gastritis adalah proses peradangan dari dinding lambung akibat produksi asam lambung yang berlebih. Dapat disebabkan oleh gaya hidup (pola makan, merokok, alkohol), stres fisik (luka bakar, trauma, pembedahan, dll), stres psikis yang berat, obat-obat tertentu dan refluks usus-lambung. Gastritis ditandai dengan gejala-gejala :
  •  Dispepsia : nyeri perut bagian atas atau rasa tidak nyaman yang seringkali berhubungan dengan intake atau asupan makanan.
  • Flatulensi (kembung) : peregangan lambung atau usus yang disebabkan gas disertai rasa penuh di perut. 
  • Vomiting (muntah)
Gejala yang paling sering aku alami adalah rasa perih dan nyeri di lambung, serta kembung yang jika gastritis sedang parah-parahnya, perut tampak seperti sedang hamil 3 bulan saking kembungnya.

Setelah bekerja lalu menikah, gastritis yang aku derita semakin terasa mengganggu. Tekanan pekerjaan, stres dan kelelahan membuat gastritisku semakin sering kumat. Bahkan satu tahun terakhir ini, aku tidak bisa lagi makan makanan yang bisa memicu meningkatnya produksi asam lambung, seperti :
·         Bahan makanan yang rasanya kecut dan asam. Termasuk di dalamnya adalah buah-buahan seperti jeruk, mangga, jambu, dll ; makanan seperti arsik, tom yam, dll  
·         Makanan pedas.
·         Bahan makanan yang menyebabkan kembung seperti mie, kol, ubi, dll
·         Minuman yang mengandung kafein seperti kopi, minuman bersoda, dll

Gastritisku semakin menjadi-jadi di usia kehamilan memasuki 8 minggu. Rasa perih lambung yang menyayat-nyayat menghampiriku hampir setiap jam, pagi, siang terutama malam hari. Aku harus terus nyemil untuk mengurangi rasa perih dan mual karena asam lambung yang naik hingga ke kerongkongan juga rasa terbakar di dada, biasa disebut heartburn.

Heartburn

Sebenarnya heartburn adalah salah satu keluhan yang sering terjadi selama kehamilan. Ada sensasi rasa panas seperti terbakar atau rasa tidak nyaman yang dirasakan di balik tulang dada atau tenggorokan, atau keduanya.

Heartburn  terjadi karena regurgitasi  asam lambung yang mencapai tenggorokan atau mulut, disebut juga refluks esofagitis. Ketika asam lambung mencapai tenggorokan, akan menimbulkan rasa panas atau terbakar yang sangat tidak nyaman. Sedangkan ketika asam lambung mencapai mulut, menimbulkan rasa asam atau pahit di mulut yang dapat memicu rasa mual.

Penyebab heartburn pada kehamilan adalah :
  1. Hormon progesteron yang memang sedang diproduksi banyak-banyaknya di rahim untuk menjaga kehamilan dan mencegah terjadinya kontraksi uterus sebelum waktunya, menyebabkan otot-otot lambung menjadi rileks sehingga pengosongan lambung menjadi lebih lambat dari biasanya. Seharusnya, setelah makanan dicerna di lambung, otot-otot lambung akan segera mendorong makanan menuju usus halus untuk diabsorpsi (diserap). Selain mempengaruhi otot-otot lambung, progesteron juga menyebabkan sphincter esofagus yang bertugas menjaga agar asam lambung tidak berbalik ke atas, menjadi ikut rileks.
  2. Rahim yang semakin membesar dapat menekan perut dan mendorong asam lambung keluar ke atas.


Syukurlah heartburn tidak memperngaruhi kehamilan dan tidak berpotensi menyebabkan penyakit yang lebih serius. Sayangnya, ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh heartburn sangat mengganggu dan menguras energi, seperti yang aku rasakan.

Mengatasi Heartburn

Tatalaksana heartburn pada kehamilan bertujuan untuk mengurangi gejala dengan mempertimbangkan faktor keamanan bagi sang janin. Modifikasi gaya hidup dan diet sangat dianjurkan.
Ini  yang aku lakukan untuk mengatasi heartburn yang mendera :
  1.  Makan makanan dalam porsi kecil tapi sering. Untuk menghindari regurgitasi asam lambung dan perih di lambung, perut tidak boleh dalam keadaan kosong. So, setiap 2 jam (termasuk malam dan dini hari), aku harus makan sesuatu yang porsinya kecil tapi cukup padat, seperti brownies, roti-rotian, pisang (otomatis tidak akan bisa makan banyak, karena sesungguhnya perut masih terasa penuh dan kenyang).
  2. Nyemil. Jika asam lambung mencapai dada, rasa terbakar aku usir dengan minum dan makan sesuatu. Begitu juga kalau asam lambung sudah mencapai mulut, aku memilih makan coklat yang akan mencair di mulut, sehingga bisa mengusir rasa pahit, asam atau eneg. Aku menghindari makan permen karena menurutku kurang efektif dan kurang sehat.
  3.  Modifikasi diet. Menghindari makanan yang dapat memicu produksi asam lambung seperti yang sudah aku sebutkan di atas. Aku menghindari makanan yang terlalu berbumbu, pedas, terlalu berlemak dan goreng-gorengan.
  4. Tidak langsung berbaring segera setelah makan. Lebih baik melakukan aktifitas ringan yang dapat membantu makanan dalam perut ‘agak turun’.
  5. Tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dari kaki. Selama beberapa waktu, aku terpaksa tidur sambil separuh duduk untuk mencegah asam lambung naik ke tenggorokan. Kepala disangga dengan setumpuk bantal dan punggung bersandar seperti posisi separuh duduk. Meskipun setelah beberapa jam aku akhirnya tidur telentang karena pinggang udah keburu pegal.
  6. Memakai pakaian yang longgar sehingga tidak memberi tekanan pada perut.
  7. Obat-obatan

Kutahan Perih Ini Demi Sang Bayi

Obat-obat penatalaksanaan gastritis dan heartburn terdiri dari 3 jenis yaitu :
1.    Antasida
Obat ini bekerja menetralisir asam lambung. Contohnya adalah obat-obat maag yang banyak diiklankan di TV, seperti Mylanta, Promag Promag, dst.
2.    Penghambat sekresi asam lambung golongan Antagonis Histamin H2
Obat ini bekerja dengan cara menghambat Histamin H2 menempati reseptornya di sel parietal lambung, tempat diproduksinya asam lambung. Contohnya adalah Cimetidine, Ranitidine, Famotidine
3.    Penghambat sekresi asam lambung golongan Proton Pump Inhibitor
Obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas pompa proton di sel parietal lambung. Contohnya adalah Omeprazole, Lansoprazole, Rabeprazole, Pantoprazole dan Esomeprazole.

Ketiga jenis obat itu diurutkan berdasarkan tingkat efektivitas dan kebaruannya.

Jaman kuliah, gastritis yang kualami hanya aku obati dengan mengkonsumsi obat antasida. Setelah bekerja dan gastritis semakin sering kumat, antasida saja sudah tidak cukup lagi untuk mengatasi perih lambung yang kuderita. Aku mulai menggunakan obat golongan antagonis H2, mulai dari Ranitidine dan kemudian Famotidine. Ketika gastritis semakin menjadi-jadi, bahkan Famotidine pun sudah tidak mempan lagi mengatasi sakit yang kuderita. Beberapa kali terpaksa mengunjungi Internist (Dokter Spesialis Penyakit Dalam), berturut-turut aku mendapat resep obat golongan pompa proton : Omeprazole, Lansoprazole, bahkan sampai Rabeprazole.

Karenanya, ketika hamil dan gastritis menderaku sedemikian rupa merupakan sebuah ujian untuk kehamilanku. Bagaimana tidak, ketika aku memeriksakan diri ke dokter Obgyn dan menyampaikan keluhanku, dokter hanya meresepkanku obat antasida. Bisa Moms bayangkan, bagaimana aku yang sudah terbiasa menggunakan obat golongan pompa proton, minimal Omeprazole untuk mengatasi gastritisku, tiba-tiba hanya boleh menggunakan antasida, obat yang sudah lama aku tinggalkan karena sudah tidak mempan lagi mengatasi perih lambung yang kurasakan.

Setelah minum antasida, rasa perih di lambung hanya berkurang selama 1 jam. Setelah efek antasidanya hilang, perih lambung itu kembali menderaku. Begitu setiap hari, pagi-siang-malam perih lambung itu bagai mengiris-iris lambungku. Aku hanya bisa menangis tak berdaya. Aku juga menjadi sering tidak masuk kantor.

Akhirnya karena tidak tahan, aku mendatangi dokter Obgyn yang lain untuk mencari second opinion. Kembali aku hanya menerima resep obat antasida. Penasaran, akhirnya aku googling lagi untuk mencari tahu tingkat keamanan obat-obat gastritis itu.

Ternyata demi keselamatan janin yang tengah dikandung, tatalaksana gastritis dan heartburn pada ibu hamil dimulai dengan modifikasi gaya hidup. Antasida adalah pilihan kedua, jika modifikasi gaya hidup tidak terlalu berhasil. Antasida dianggap obat yang paling aman untuk mengatasi gastritis dan heartburn pada ibu hamil karena hanya bersifat lokal. Obat pilihan ketiganya adalah Ranitidine. Sedangkan Omeprazole tidak dianjurkan untuk ibu hamil karena dapat berpengaruh pada bayi yang tengah dikandung. Sedangkan Lansoprazole adalah obat pilihan terakhir.

Meskipun sudah mendapat jawaban dari searching internet, karena perih lambung terus menerus menderaku, akhirnya kudatangi dokter Obgyn ketiga, berharap bisa mendapatkan obat lain selain antasida untuk mengurangi rasa perih ini. Tapi kembali aku menelan kecewa karena dokter lagi-lagi hanya meresepkan antasida. Datang ke dokter keempat, kembali resep antasida yang kudapatkan. Dokter beralasan, aku belum melewati trimester pertama, sehingga ia belum berani meresepkan Ranitidine. Hingga puncaknya adalah ketika aku mendatangi dokter Obgyn kelima. Kusampaikan keluhan perih lambungku, berharap ia berempati padaku. Tapi yang kudapatkan justru jawaban ketus setengah mengusir  “Kalau Ibu minta obat lain, silahkan cari dokter yang lain saja”.

Aku menyerah. Mungkin ini yang disebut perjuangan menjadi seorang ibu. Akan kutahan perih lambung ini semampuku tanpa mengeluh lagi, demi keselamatan dan kesehatan janin yang tengah kukandung. Tidak mudah memang, tapi mungkin ini ujian pertamaku untuk membuktikan cintaku pada bayiku.

Bermodalkan modifikasi gaya hidup dan sesekali minum antasida jika perihnya sudah tak tertahankan lagi, akhir aku bisa melewati fase-fase heartburn ini. Memasuki trimester kedua, aku bisa menjalani kehamilanku dengan lebih sehat dan ceria. Hanya sesekali gastritisku kumat. Sedangkan heartburn nyaris tidak pernah kurasakan lagi.

Memasuki trimester ketiga, gastritis kembali menjadi ujian yang harus aku hadapi. Perih lambung kembali kuderita terutama di malam hari. Nyaris tidak pernah tidur malam dengan nyenyak dan lama, karena tiap 2 jam aku harus bangun untuk makan sesuatu. Aku bertahan hanya mengandalkan modifikasi gaya hidup dan diet, serta sesekali menggunakan antasida untuk mengatasi gastritis yang kumat. Meskipun oleh dokter akhirnya aku diperbolehkan minum Ranitidine, tidak sebiji pun obat itu aku minum hingga tanggal kelahiran tiba.

Karena kurang tidur, paginya aku harus berjuang untuk mempersiapkan diri berangkat ke kantor. Di kantor, aku berada dalam kondisi fisik yang sangat lelah. Kurang tidur, gerak yang terbatas karena perut yang semakin membesar, nafas yang tersengal-sengal, belum lagi deadline pekerjaan kantor yang harus segera kuselesaikan sebelum aku cuti hamil. Karena kuatir melihat kondisiku, suami menyarankan agar aku segera cuti saja. Tapi aku menolak dan memilih mengambil cuti sesaat sebelum due date, supaya dapat lebih lama merawat bayiku. Puji Tuhan, akhirnya aku dapat melewati semua itu, dan mengambil cuti 2 hari sebelum tanggal berlangsungnya operasi sesar.

Kini, Josh telah berusia 9 bulan. Kelahirannya membawa keajaiban yang tidak pernah kuduga-duga. Gastritisku SEMBUH...  It’s a miracle ... thanks God ..

Selama 9 bulan ini, baru satu kali aku minum obat antasida karena gastritis yang kumat. Itupun karena aku minum kopi. Selebihnya, gastritis yang biasanya kumat karena faktor kelelahan akan sembuh sendiri hanya dengan berbaring leyeh-leyeh di tempat tidur selama 1 jam. Ajaib bukan? Sekarang aku bahkan bebas makan dan minum apa saja tanpa kuatir gastritis akan kumat. Tom Yam, arsik, jeruk, makanan yang pedas, mie, kol, kopi,minuman bersoda ... siapa takut ... ^0^

I'm Pregnant ...


AKHIR PENANTIAN PANJANG 



Penantian panjang selama empat tahun akan kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga kecil kami, akhirnya dijawab Tuhan hari itu, 22 November 2010. Di tengah padatnya jadwal tugas keluar kota – aku baru pulang dari Balikpapan dan Banjarmasin - , bersyukur banget aku masih diberi kepekaan untuk merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan tubuh ini. Belum juga haid selama 2 minggu dari tanggal seharusnya dan mulai merasakan sedikit mual dan pusing, akhirnya pagi itu aku memutuskan untuk tes urine (air seni) dengan menggunakan strip test kehamilan.

Dua Garis yang Mendebarkan

Strip test kehamilan yang aku gunakan adalah merek  Sensitif . Pertama-tama aku harus menampung urine pagi yang keluar pertama kali. Urine aku tampung dalam sebuah wadah plastik yang bersih dan kering (aku pakai botol bekas air mineral yang sudah dipotong supaya leher botolnya ga terlalu panjang, dicuci bersih dan dikeringkan). Pernah diberi tahu oleh petugas laboratorium kalau pemeriksaan urine, sebaiknya yang dipakai adalah urine tengah. So, urine awal aku buang, baru setelah itu urine ditampung dan berhenti menampung sebelum seluruh urine keluar, supaya urine akhir tidak ikut tertampung.

Strip dicelupkan ke dalam urine secara vertikal dengan posisi strip yang ada tanda panahnya menghadap ke bawah, jangan melebihi tanda “Max” yang tertera di strip. Setelah strip tercelup selama 30 detik, strip diangkat dari wadah dan diletakkan pada tabel komparasi yang disediakan dalam kemasan. Tunggu selama 2 menit, hasil akan terlihat berupa garis merah keunguan, satu atau 2 garis.

Dua menit yang mendebarkan saat perlahan-lahan cairan solusi yang ada dalam strip bergerak naik melalui area strip. And very surprised ketika melihat 2 garis merah keunguan tampak jelas terbaca pada strip.  Yang artinya .... AKU HAMIL ... Benarkah ??

Berdasarkan teori konsepsi / pembuahan, jika sel telur (ovum) bertemu dengan sperma di tuba falopii wanita, hasil pembuahan yang disebut zygot akan bernidasi ke endometrium (dinding rahim) yang kemudian akan menghasilkan hormon Chorionic Gonadotropin (hCG). Hormon inilah yang akan ditemukan dalam urine wanita hamil sejak usia kehamilan 6 hari. Akan terdeteksi oleh test pack jika kadarnya lebih atau sama dengan 25 mlU / ml.

Meskipun produsen  Sensitif menyebutkan tingkat keberhasilan alat ini bisa mencapai 99,99 %, tetap saja rasanya belum mantap kalau belum mengkonfirmasikan hasil tes urine ini langsung ke ahlinya. So, tak ingin berspekulasi lebih lama, pagi itu juga aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke Dokter Spesialis Obsteri Ginekologi (Obgyn) di RS Mitra Kasih Cimahi .

Datang sendiri tanpa didampingi suami (yang pagi itu betul-betul tidak bisa meninggalkan kewajibannya sebagai dosen) membuat proses menunggu antrian di ruang tunggu  jadi lebih menggelisahkan. Tapi antrian yang panjang dan melelahkan segera terlupakan begitu namaku dipanggil. Setengah dag dig dug karena nggak kebayang pemeriksaannya seperti apa, akhirnya aku masuk.

Seorang dokter Obgyn wanita menyapaku dengan ramah. Aku memang sengaja memilih dokter wanita karena merasa lebih nyaman dan bisa lebih leluasa bertanya, berdiskusi atau menyampaikan keluhan-keluhan tanpa rasa malu. Juga rasanya lebih tenang aja karena yakin dokter wanita juga pernah mengalami masa-masa kehamilan yang membuatnya lebih mudah berempati.

USG yang Pertama

Setelah menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan dokter, akhirnya aku diperiksa dengan USG 2 dimensi. USG (Ultrasonografi) adalah prosedur pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara tinggi yang dipantulkan ke tubuh untuk memperlihatkan gambaran rahim dan isinya yang memberikan informasi dalam bentuk gambar (sonogram) yang dapat kita lihat di layar monitor maupun hasil print out-nya.

Sebelum diperiksa, perut bagian bawah (disanalah letak rahim) diolesi dulu dengan gel untuk memudahkan pergerakan alat probe yang digenggam oleh dokter Obgyn.
Oooh begini rasanya diperiksa dengan USG, baru tau ... :)

Hasil USG mengkonfirmasi kebenaran hasil tes urine tadi pagi. AKU HAMIL !! Ada sebentuk embrio yang sedang berkembang di rahimku yang usianya sudah 6 minggu. Puji Tuhan, akhirnya dapat kurasakan kehadirannya. Sukacita luar biasa mendorongku segera BBM suami lengkap dengan foto hasil USG. Dan tentu saja tak lupa update status di social media, hehe ..



Friday, April 20, 2012

Akhirnya Blogging ...


Setelah Josh genap berusia 9 bulan, akhirnya memantapkan hati untuk mulai blogging untuk sharing pengalaman merawat dan mengasuh Josh.  Lahir dari kenyataan bahwa ternyata menjadi ibu baru itu (sungguh) tidak mudah. Serba bingung, panik, heboh, stress, ga tau mesti berbuat apa. Semua  karena minimnya pengalaman.

Di saat tidak banyak orang yang bisa dijadikan tempat untuk bertanya dan berguru, saya merasakan bahwa internet adalah media termudah dan tercepat untuk mendapatkan informasi atas pertanyaan dan kondisi yang harus segera saya atasi. Tinggal googling pakai smartphone atau lepi, dapat deh infonya, meskipun ternyata tidak semua informasi benar dan sesuai dengan kondisi pengasuhan kita.

So, blog ini akan menjadi tempat curahan hati saya selama saya diberikan kesempatan menjadi ibu dari seorang bayi imut, Joshua Anargya Lasia. Just sharing, bukan bermaksud ngajarin atau sok menggurui. Mungkin bisa melengkapi referensi para Bunda yang menghadapi kondisi yang sama dengan yang saya alami. Semoga  bermanfaat ...