This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday, April 30, 2012

Perjalanan Mencari Dokter Obgyn yang Tepat



SETELAH 5 DOKTER OBGYN

Kehamilan selama 40 minggu menjadikan Dokter Kandungan atau Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi / Obgyn  adalah sosok dokter yang akan dikunjungi oleh ibu hamil secara rutin. Diperkirakan seorang ibu hamil selama masa kehamilan dan persalinannya, akan menemui Dokter Obgyn sebanyak 14 kali. Konsultasi secara berkala ditetapkan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pada umumnya semakin dekat waktu persalinan, maka semakin sering dan intensif dilakukan pemeriksaan.

Jika tidak ada keluhan khusus, biasanya frekuensi pemeriksaan berkala kehamilan diatur sebagai berikut :
1. Usia kehamilan  0 – 12 minggu : periksa setiap 3  - 4 minggu
2. Usia kehamilan 13 – 28 minggu : periksa setiap 2 minggu
3. Usia kehamilan 29 - 40 minggu : periksa setiap 1 minggu

Karenanya, sangat penting untuk bisa ‘menemukan’ Dokter Obgyn yang tepat, supaya ibu dapat menjalani kehamilan dan persalinannya dengan aman, tenang dan nyaman.

Aku punya pengalaman unik dalam perjalanan ‘menemukan’ Dokter Obgyn yang sreg di hati. Setelah 5 Dokter Obgyn dan usia kehamilan 19 minggu, aku akhirnya bisa menetapkan pilihan pada satu Dokter Obgyn yang memenuhi syarat yang aku tetapkan untuk membantuku selama menjalani proses kehamilan hingga persalinan.

Ini kisahnya ...

Dokter Obgyn Pertama

Kunjungan pertamaku ke Dokter Obgyn terjadi tanggal 22 November 2010 di RS Mitra Kasih Cimahi, setelah test urine pagi harinya mengkonfirmasi bahwa aku hamil. Karena fasilitas asuransi kesehatan yang disediakan kantor  yaitu Inhealth , hanya bisa dilakukan di rumah sakit dan tidak di praktek pribadi, maka pagi itu aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke RS Mitra Kasih Cimahi, rumah sakit terdekat dari rumah.

Aku ditangani oleh dr L, SpOG, seorang Dokter Obgyn perempuan, usia sekitar 40-an, ramah dan cukup telaten memeriksaku. Beliau menanyakan riwayat menstruasiku dan kapan tanggal menstruasi terakhir yang masih aku ingat. Informasi ini diperlukan Dokter untuk menentukan usia kehamilan. Dokter juga menanyakan keluhan-keluhan yang aku alami, sebelum akhirnya melakukan pemeriksaan dengan USG.

Hasil USG membenarkan hasil tes kehamilan menggunakan urine yang aku lakukan tadi pagi. Aku dinyatakan hamil dengan usia kandungan sudah 6 minggu dan tanggal perkiraan persalinan adalah tanggal 17 Juli 2012.

Meskipun saat awal kehamilan aku belum merasakan gastritis seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku sempat menginformasikan riwayat gastritis yang kuderita sebelum hamil kepada Dokter. Dokter cukup tanggap dengan membekaliku resep obat antasida yang bisa aku minum jika suatu saat gastritisku kumat.

Dokter Obgyn Kedua

Masalah mulai muncul ketika seminggu  setelah dinyatakan hamil, gastritisku mulai sering kumat yang disertai dengan gejala perih lambung dan kembung. Meskipun dari Dokter Obgyn pertama aku sudah dibekali obat antasida, entah mengapa saat itu aku ragu-ragu untuk meminumnya. Aku memilih mengabaikan gejala yang muncul meskipun gejala-gejala itu membuatku sangat tidak nyaman dan merasa tidak sehat. Mungkin ini naluri untuk melindungi janinku dari kontak dengan obat-obatan yang (aku pikir) tidak perlu.

Ternyata aku hanya sanggup bertahan selama 2 hari menghadapi gastritis yang kambuh tanpa diobati. Karena sudah tidak tahan lagi, bersama suami sore itu aku diantar ke seorang Dokter Obgyn perempuan yang membuka praktek pribadi di sebuah apotek. Aku terpaksa tidak bisa kembali konsul ke dr. L, dokter Obgynku yang pertama karena beliau hanya praktek di RS Mitra Kasih Cimahi pagi hingga siang hari dan pada kunjungan pertamaku kemarin, aku lupa menanyakan tempat praktek pribadinya.

Setelah menunggu 20 orang lebih, akhirnya tiba juga giliranku untuk diperiksa. Dokter melakukan prosedur yang sama seperti Dokter Obgyn pertama, menanyakan riwayat menstruasiku, tanggal menstruasi terakhir dan diakhiri dengan pemeriksaan USG.

Kepanikan muncul ketika Dokter tidak menemukan sebentuk janin di rahimku melalui pemeriksaan USG. Heeeh??? Kok bisa??? Beberapa kali kulihat Dokter menggulirkan probe-nya untuk menemukan posisi yang tepat agar janin terlihat. Tapi tetap saja sang janin tidak kelihatan.

“Ibu keliatannya kurang minum ya?” kata Dokter. “Masa sih Dok?” sahutku. Sepertinya kok aku sudah minum cukup banyak air ya, batinku. “Iya, janin bisa jadi nggak kelihatan di USG karena ibu kurang minum. Jadi, sekarang ibu keluar dulu, minum yang banyak, kalo sudah kepengin pipis, nanti bilang susternya supaya masuk lagi untuk diperiksa. “

Doooeeenngggg .... Aku dan suami keluar dari ruang praktek dokter sambil saling menatap bingung. Kecemasan terlihat jelas di mata suamiku. Aku tahu yang ia rasakan. Ia pasti kuatir dan takut kehilangan sukacita dan harapan akan kehadiran seorang anak yang sempat kami rasakan seminggu terakhir ini.

Sambil berusaha menenangkan suamiku dan berkata semua akan baik-baik saja, aku minta dibelikan air mineral. Suamiku datang dengan 2 botol air mineral ukuran 600 ml dan 1 botol ukuran 1,5 L. Pelan-pelan aku mencoba menghabiskan air mineral  itu dan berharap rasa kepengen pipis segera muncul supaya kami tidak perlu menunggu terlalu lama lagi. Setengah jam kemudian, setelah berhasil menghabiskan 2 botol @ 600 ml, rasa kepengen pipis itu akhirnya muncul. Di ruang tunggu tinggal 2 pasien lagi termasuk aku. Ah, rasanya lelah sekali harus menunggu berjam-jam seperti ini ...

Dokter kembali memeriksa kandunganku dengan USG. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan sebentuk embrio di rahimku yang tampak melalui monitor. Legaaa rasanya ...

Begitu keluar dari ruang praktek dokter dan membaca isi kertas resep yang dituliskan Dokter (inilah enaknya jadi Apoteker, bisa baca dan menilai isi resep sebelum ditebus, hehe)  kembali aku mengerutkan kening. Dokter meresepkanku obat mual-muntah dengan bahan aktif Ondansetron. Hmm, untuk apa ya? Setahuku, aku tidak mengalami mual-muntah sampai harus terapi menggunakan ondansetron. Kan keluhanku hanya seputar gejala gastritis yaitu perih lambung dan kembung?

Iseng aku minta petugas apotik menghitungkan harga resep itu jika aku tebus. Tiga ratus ribu rupiah!!! Wooww ... aku harus kehilangan uang sebanyak itu untuk membeli obat yang tidak tepat indikasi?? Hmm, engga deh ...

Aku putuskan untuk tidak menebus resep itu dan tidak kembali lagi ke Dokter Obgyn ini ...

Dokter Obgyn Ketiga

Gastritis menerorku terus dari hari ke hari. Setelah kejadian kunjungan Dokter Obgyn yang kedua, akhirnya aku memutuskan menggunakan obat antasida yang pernah kuterima dari Dokter Obgyn yang pertama. Gejala gastritis memang menghilang setelah pemakaian antasida, sayangnya tidak bertahan cukup lama.

Tepat di hari ulang tahunku, 2 Desember 2010, gastritisku kembali kumat parah-parahnya. Kelelahan sepulang dari kantor ditambah stres yang tidak kusadari karena ditinggal suami tugas keluar kota, membuat lambungku terasa sangaaaat periiihh ... Aku sampai menangis saking tidak tahannya. Karena kuatir melihat keadaanku, akhirnya mama mengajakku untuk berobat (lagi) ke dokter.

Kembali karena gejala baru kurasakan sore hari, aku tidak bisa berobat ke Dokter Obgyn pertamaku di RS Mitra Kasih. Datang lagi ke Dokter Obgyn kedua rasanya enggan dan kapok. Akhirnya aku memutuskan untuk berobat ke Dokter Obgyn ketiga, seorang Dokter Obgyn lain yang juga kelihatannya cukup terkenal karena antrian pasiennya cukup panjang.

Kali ini Dokter Obgynnya laki-laki, dr. UG., SpOG. Terpaksa berobat ke situ karena aku tidak punya referensi dokter lain yang tempat prakteknya tidak jauh dari rumah. Ditambah perih yang seperti mengiris-iris lambung, membuatku pengen cepat-cepat ditangani dokter.

Kembali aku harus menjalani pemeriksaan USG (untuk yang ketiga kalinya dalam kurun waktu 2 minggu). Kusampaikan keluhan gastritisku dengan detil, termasuk riwayat pengobatan dari Dokter Obgyn yang pertama dan kedua, dengan harapan pengobatan yang diberikan tidak mengulang lagi dari yang diberikan oleh 2 dokter sebelumnya. Aku mendapat obat antibiotik Amoxicillin dan vitamin.

Setelah mencoba mengingat lagi teori tatalaksana gastritis, akhirnya aku sepakat mencoba obat yang diresepkan oleh dr. UG ini. Mungkin dokter melihat adanya indikasi infeksi Helicobacter pylori sehingga memberiku Amoxicillin. Dan memang setelah beberapa kali minum antibiotik itu, lambungku menjadi lebih nyaman dan aku bisa mengatasi gejala gastritis yang tidak separah sebelumnya.

Aku masih bimbang untuk menjadikan dr. UG ini sebagai dokter Obgyn tetapku. Selain karena prakteknya tidak di rumah sakit, yang artinya tidak dapat diklaim oleh asuransi kesehatan fasilitas kantor, faktor gender juga masih membuatku belum sreg. Pasiennya yang cukup banyak sehingga harus mengantri berjam-jam juga menjadi salah satu bahan pertimbanganku.

Di tengah proses timbang menimbang itu, tidak disangka aku mendapat informasi yang menciutkan hati tentang dokter ini. Menurut informasi atasanku di kantor yang juga seorang dokter, dr. UG ini bukan seorang dokter Spesialis Kandungan. Ia hanya dokter umum yang lama bekerja di poli kandungan.

“Hah, masa sih?” debatku. “Bagaimana bisa seorang dokter umum praktek sebagai spesialis? Kan sudah ada aturannya dari DepKes?”

Penasaran, aku segera mengecek kartu berobat yang aku terima dari suster bagian pendaftaran. Dan terkejut setengah mati karena di kartu berobat itu sang dokter memang tidak mencantumkan gelar yang menunjukkan bahwa dia adalah spesialis obgyn, yaitu SpOG. Aku mulai ragu-ragu, dalam hati mulai percaya pada informasi dari atasanku. Logikanya, gelar adalah identitas seorang dokter. Tidak mungkin ia mengabaikan gelar itu dan tidak mencantumkannya di kartu berobat, kecuali dia memang tidak punya gelar itu.

Semakin penasaran, aku minta suami datang lagi ke apotek tempat sang dokter praktek dan baca lagi plang si dokter, apakah di situ tertulis gelar SpOGnya. Dan ternyata faktanya sama, tidak ada gelar SpOG yang tertulis di belakang namanya.. Heeehhhh ??

Aku langsung memutuskan untuk tidak lagi kontrol kehamilan ke dokter itu...

Dokter Obgyn Keempat

Gastritisku yang semakin menjadi-jadi mendorongku untuk (terpaksa) mencari opini dari Dokter Obgyn lain. Kali ini pilihannya adalah seorang Dokter Obgyn terkenal di RS Borromeus Bandung. Menurut pendapat beberapa orang teman, meskipun seorang pria, dokter ini sangat ramah, telaten dan baik hati. Okay, mari kita coba ...

Aku dipanggil masuk ke ruang periksa disaat pasien sebelum aku masih ada di dalam ruangan itu. Dari mencuri dengar pembicaraan mereka, sepertinya dokter ini memang seperti info-info yang aku dengar. Secercah harapanku muncul, berharap dokter ini bisa menjadi ‘pelabuhan terakhirku’ hingga masa persalinan lagi.

Namun entah apa yang terjadi, begitu tiba giliranku diperiksa, semua deskripsi tentang dokter yang ramah, telaten dan baik hati lenyap seketika. Baru saja aku menceritakan keluhan gastritisku, dengan nada tajam, dokter itu ‘menceramahi’ kami berdua. Dia mengatakan bahwa anak adalah anugerah bagi sebuah keluarga, tidak setiap keluarga diberi kepercayaan punya anak, anak-anak autis banyak disebabkan karena kelahirannya tidak diinginkan, bla...bla...bla...

Aku bengong sebengong-bengongnya ... Penjelasan dokter bener-bener ga nyambung dengan apa yang aku keluhkan. Yang bikin lebih kaget, ketika aku menanyakan apakah ada obat lain selain antasida untuk mengatasi gastritisku, dengan ketusnya sang dokter berucap, “ Kalo ibu minta obat lain, cari dokter lain aja, ga usah datang lagi ke saya ...”

Ooohhh, ga usah disuruh dua kali Dok, saya pastikan ini adalah kunjungan pertama dan terakhir saya  ..., ujarku dalam hati dengan kesal dan tersinggung.

Mungkin hari itu aku memang sedang tidak beruntung. Harus bertemu dengan dokter yang sombong dan sangat menyebalkan, eee.. sampe di kasir, ternyata aku harus bayar pakai uang pribadi karena rumah sakit belum bekerja sama dengan kartu Inhealth tipe yang aku pegang. Nasiibbb ....

Dokter Obgyn Kelima


Pengalaman buruk bertemu Dokter Obgyn yang keempat, membuatku mengevaluasi lagi 4 Dokter Obgyn yang sudah pernah aku temui. Setelah diingat-ingat lagi, sebenarnya aku tidak punya masalah dengan Dokter Obgyn pertamaku. Kendala hanya muncul ketika aku tidak bisa konsul pada beliau di sore hari. Karenanya kutetapkan untuk kembali mengunjungi dr. L, SpOG di RS Mitra Kasih Cimahi sambil memeriksakan kehamilanku yang sudah memasuki bulan ketiga.

Sampai di rumah sakit, kembali aku mendapat surprise. Menurut mbak di bagian Pendaftaran, dokter L ternyata sudah tidak praktek lagi di rumah sakit ini karena pindah ke luar kota. Penggantinya adalah seorang dokter Obgyn pria. Ahhhh ....

Karena sudah terlanjur tiba di rumah sakit, aku memutuskan untuk tetap diperiksa oleh dokter pengganti  Dokter L. Dan kembali harus kecewa karena aku merasa kurang sreg dengan dokter ini ...

Dokter Obgyn Keenam

Rasanya nyaris putus asa menemukan dokter Obgyn yang tepat, sementara kehamilanku terus berkembang dan sudah waktunya kembali kontrol. Akhirnya atas masukan seorang teman kantor, aku datang  ke RSIA Hermina Pasteur Bandung. Menurut temanku itu, di rumah sakit ini, setiap jam tersedia banyak pilihan dokter Obgyn yang praktek, mau dokter wanita ataupun pria, tinggal pilih.

Siang itu, 26 Februari 2012, menurut bagian pendaftaran, terdapat tiga orang Dokter Obgyn perempuan yang praktek. Mbak resepsionis menyebutkan nama-nama dokternya. Aku terdiam beberapa menit, mencoba menajamkan feelingku, sebelum akhirnya aku memutuskan,” Ke dokter T aja deh Mbak.”

Gambling, cuma itu misiku konsul ke dokter Obgyn siang ini. Pasrah adalah misi berikutnya. Hanya berharap feelingku ketika memilih di antara 3 nama tadi tidak salah.

Sambil menunggu giliran, aku mencuri dengar pembicaraan ibu yang sedang membahas si dokter T dengan ibu sebelahnya. Sepertinya recommended Obgyn nih ... pikirku dalam hati.

Puji Tuhan, ketika selesai diperiksa dan keluar dari tempat prakteknya, aku merasakan bahwa pencarianku untuk menemukan dokter Obgyn yang tepat telah berakhir. Dr T, SpOG memenuhi kriteriaku. Ramah, cerdas, telaten, dan yang terpenting, bisa diajak diskusi ...

Sejak itu, aku tidak pernah ganti dokter Obgyn lagi. Dokter T terus membantuku menjalani kehamilanku dengan nyaman dan aman. Beliau pula yang menangani persalinanku melalui operasi sesar. Makasih banyak Dokter T ....

Wednesday, April 25, 2012

Gastritis dan Heartburn Selama Kehamilan


KUTAHAN PERIH INI DEMI JOSH

Beberapa minggu setelah dinyatakan hamil, aku masih bisa menikmati kehamilanku dengan santai. Nyaris tidak pernah kurasakan yang namanya mual – muntah di pagi hari (morning sickness) seperti yang umum dialami oleh ibu-ibu yang sedang hamil muda. Aku masih bisa menikmati kegiatan makan dan beraktifitas normal seperti sebelum hamil.

Sungguh tidak pernah kubayangkan kalau sesudahnya, kehamilan ini menjadi semakin berat kujalani.

Periiihhh ... banget ..

Gastritis (atau yang sering disebut sakit maag) kronis memang sudah lama kuderita sejak masih duduk di bangku kuliah. Maklum, sebagai anak kos dengan aktifitas kuliah dan organisasi yang segudang, pola dan jadwal makanku memang tergolong kacau.

Gastritis adalah proses peradangan dari dinding lambung akibat produksi asam lambung yang berlebih. Dapat disebabkan oleh gaya hidup (pola makan, merokok, alkohol), stres fisik (luka bakar, trauma, pembedahan, dll), stres psikis yang berat, obat-obat tertentu dan refluks usus-lambung. Gastritis ditandai dengan gejala-gejala :
  •  Dispepsia : nyeri perut bagian atas atau rasa tidak nyaman yang seringkali berhubungan dengan intake atau asupan makanan.
  • Flatulensi (kembung) : peregangan lambung atau usus yang disebabkan gas disertai rasa penuh di perut. 
  • Vomiting (muntah)
Gejala yang paling sering aku alami adalah rasa perih dan nyeri di lambung, serta kembung yang jika gastritis sedang parah-parahnya, perut tampak seperti sedang hamil 3 bulan saking kembungnya.

Setelah bekerja lalu menikah, gastritis yang aku derita semakin terasa mengganggu. Tekanan pekerjaan, stres dan kelelahan membuat gastritisku semakin sering kumat. Bahkan satu tahun terakhir ini, aku tidak bisa lagi makan makanan yang bisa memicu meningkatnya produksi asam lambung, seperti :
·         Bahan makanan yang rasanya kecut dan asam. Termasuk di dalamnya adalah buah-buahan seperti jeruk, mangga, jambu, dll ; makanan seperti arsik, tom yam, dll  
·         Makanan pedas.
·         Bahan makanan yang menyebabkan kembung seperti mie, kol, ubi, dll
·         Minuman yang mengandung kafein seperti kopi, minuman bersoda, dll

Gastritisku semakin menjadi-jadi di usia kehamilan memasuki 8 minggu. Rasa perih lambung yang menyayat-nyayat menghampiriku hampir setiap jam, pagi, siang terutama malam hari. Aku harus terus nyemil untuk mengurangi rasa perih dan mual karena asam lambung yang naik hingga ke kerongkongan juga rasa terbakar di dada, biasa disebut heartburn.

Heartburn

Sebenarnya heartburn adalah salah satu keluhan yang sering terjadi selama kehamilan. Ada sensasi rasa panas seperti terbakar atau rasa tidak nyaman yang dirasakan di balik tulang dada atau tenggorokan, atau keduanya.

Heartburn  terjadi karena regurgitasi  asam lambung yang mencapai tenggorokan atau mulut, disebut juga refluks esofagitis. Ketika asam lambung mencapai tenggorokan, akan menimbulkan rasa panas atau terbakar yang sangat tidak nyaman. Sedangkan ketika asam lambung mencapai mulut, menimbulkan rasa asam atau pahit di mulut yang dapat memicu rasa mual.

Penyebab heartburn pada kehamilan adalah :
  1. Hormon progesteron yang memang sedang diproduksi banyak-banyaknya di rahim untuk menjaga kehamilan dan mencegah terjadinya kontraksi uterus sebelum waktunya, menyebabkan otot-otot lambung menjadi rileks sehingga pengosongan lambung menjadi lebih lambat dari biasanya. Seharusnya, setelah makanan dicerna di lambung, otot-otot lambung akan segera mendorong makanan menuju usus halus untuk diabsorpsi (diserap). Selain mempengaruhi otot-otot lambung, progesteron juga menyebabkan sphincter esofagus yang bertugas menjaga agar asam lambung tidak berbalik ke atas, menjadi ikut rileks.
  2. Rahim yang semakin membesar dapat menekan perut dan mendorong asam lambung keluar ke atas.


Syukurlah heartburn tidak memperngaruhi kehamilan dan tidak berpotensi menyebabkan penyakit yang lebih serius. Sayangnya, ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh heartburn sangat mengganggu dan menguras energi, seperti yang aku rasakan.

Mengatasi Heartburn

Tatalaksana heartburn pada kehamilan bertujuan untuk mengurangi gejala dengan mempertimbangkan faktor keamanan bagi sang janin. Modifikasi gaya hidup dan diet sangat dianjurkan.
Ini  yang aku lakukan untuk mengatasi heartburn yang mendera :
  1.  Makan makanan dalam porsi kecil tapi sering. Untuk menghindari regurgitasi asam lambung dan perih di lambung, perut tidak boleh dalam keadaan kosong. So, setiap 2 jam (termasuk malam dan dini hari), aku harus makan sesuatu yang porsinya kecil tapi cukup padat, seperti brownies, roti-rotian, pisang (otomatis tidak akan bisa makan banyak, karena sesungguhnya perut masih terasa penuh dan kenyang).
  2. Nyemil. Jika asam lambung mencapai dada, rasa terbakar aku usir dengan minum dan makan sesuatu. Begitu juga kalau asam lambung sudah mencapai mulut, aku memilih makan coklat yang akan mencair di mulut, sehingga bisa mengusir rasa pahit, asam atau eneg. Aku menghindari makan permen karena menurutku kurang efektif dan kurang sehat.
  3.  Modifikasi diet. Menghindari makanan yang dapat memicu produksi asam lambung seperti yang sudah aku sebutkan di atas. Aku menghindari makanan yang terlalu berbumbu, pedas, terlalu berlemak dan goreng-gorengan.
  4. Tidak langsung berbaring segera setelah makan. Lebih baik melakukan aktifitas ringan yang dapat membantu makanan dalam perut ‘agak turun’.
  5. Tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dari kaki. Selama beberapa waktu, aku terpaksa tidur sambil separuh duduk untuk mencegah asam lambung naik ke tenggorokan. Kepala disangga dengan setumpuk bantal dan punggung bersandar seperti posisi separuh duduk. Meskipun setelah beberapa jam aku akhirnya tidur telentang karena pinggang udah keburu pegal.
  6. Memakai pakaian yang longgar sehingga tidak memberi tekanan pada perut.
  7. Obat-obatan

Kutahan Perih Ini Demi Sang Bayi

Obat-obat penatalaksanaan gastritis dan heartburn terdiri dari 3 jenis yaitu :
1.    Antasida
Obat ini bekerja menetralisir asam lambung. Contohnya adalah obat-obat maag yang banyak diiklankan di TV, seperti Mylanta, Promag Promag, dst.
2.    Penghambat sekresi asam lambung golongan Antagonis Histamin H2
Obat ini bekerja dengan cara menghambat Histamin H2 menempati reseptornya di sel parietal lambung, tempat diproduksinya asam lambung. Contohnya adalah Cimetidine, Ranitidine, Famotidine
3.    Penghambat sekresi asam lambung golongan Proton Pump Inhibitor
Obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas pompa proton di sel parietal lambung. Contohnya adalah Omeprazole, Lansoprazole, Rabeprazole, Pantoprazole dan Esomeprazole.

Ketiga jenis obat itu diurutkan berdasarkan tingkat efektivitas dan kebaruannya.

Jaman kuliah, gastritis yang kualami hanya aku obati dengan mengkonsumsi obat antasida. Setelah bekerja dan gastritis semakin sering kumat, antasida saja sudah tidak cukup lagi untuk mengatasi perih lambung yang kuderita. Aku mulai menggunakan obat golongan antagonis H2, mulai dari Ranitidine dan kemudian Famotidine. Ketika gastritis semakin menjadi-jadi, bahkan Famotidine pun sudah tidak mempan lagi mengatasi sakit yang kuderita. Beberapa kali terpaksa mengunjungi Internist (Dokter Spesialis Penyakit Dalam), berturut-turut aku mendapat resep obat golongan pompa proton : Omeprazole, Lansoprazole, bahkan sampai Rabeprazole.

Karenanya, ketika hamil dan gastritis menderaku sedemikian rupa merupakan sebuah ujian untuk kehamilanku. Bagaimana tidak, ketika aku memeriksakan diri ke dokter Obgyn dan menyampaikan keluhanku, dokter hanya meresepkanku obat antasida. Bisa Moms bayangkan, bagaimana aku yang sudah terbiasa menggunakan obat golongan pompa proton, minimal Omeprazole untuk mengatasi gastritisku, tiba-tiba hanya boleh menggunakan antasida, obat yang sudah lama aku tinggalkan karena sudah tidak mempan lagi mengatasi perih lambung yang kurasakan.

Setelah minum antasida, rasa perih di lambung hanya berkurang selama 1 jam. Setelah efek antasidanya hilang, perih lambung itu kembali menderaku. Begitu setiap hari, pagi-siang-malam perih lambung itu bagai mengiris-iris lambungku. Aku hanya bisa menangis tak berdaya. Aku juga menjadi sering tidak masuk kantor.

Akhirnya karena tidak tahan, aku mendatangi dokter Obgyn yang lain untuk mencari second opinion. Kembali aku hanya menerima resep obat antasida. Penasaran, akhirnya aku googling lagi untuk mencari tahu tingkat keamanan obat-obat gastritis itu.

Ternyata demi keselamatan janin yang tengah dikandung, tatalaksana gastritis dan heartburn pada ibu hamil dimulai dengan modifikasi gaya hidup. Antasida adalah pilihan kedua, jika modifikasi gaya hidup tidak terlalu berhasil. Antasida dianggap obat yang paling aman untuk mengatasi gastritis dan heartburn pada ibu hamil karena hanya bersifat lokal. Obat pilihan ketiganya adalah Ranitidine. Sedangkan Omeprazole tidak dianjurkan untuk ibu hamil karena dapat berpengaruh pada bayi yang tengah dikandung. Sedangkan Lansoprazole adalah obat pilihan terakhir.

Meskipun sudah mendapat jawaban dari searching internet, karena perih lambung terus menerus menderaku, akhirnya kudatangi dokter Obgyn ketiga, berharap bisa mendapatkan obat lain selain antasida untuk mengurangi rasa perih ini. Tapi kembali aku menelan kecewa karena dokter lagi-lagi hanya meresepkan antasida. Datang ke dokter keempat, kembali resep antasida yang kudapatkan. Dokter beralasan, aku belum melewati trimester pertama, sehingga ia belum berani meresepkan Ranitidine. Hingga puncaknya adalah ketika aku mendatangi dokter Obgyn kelima. Kusampaikan keluhan perih lambungku, berharap ia berempati padaku. Tapi yang kudapatkan justru jawaban ketus setengah mengusir  “Kalau Ibu minta obat lain, silahkan cari dokter yang lain saja”.

Aku menyerah. Mungkin ini yang disebut perjuangan menjadi seorang ibu. Akan kutahan perih lambung ini semampuku tanpa mengeluh lagi, demi keselamatan dan kesehatan janin yang tengah kukandung. Tidak mudah memang, tapi mungkin ini ujian pertamaku untuk membuktikan cintaku pada bayiku.

Bermodalkan modifikasi gaya hidup dan sesekali minum antasida jika perihnya sudah tak tertahankan lagi, akhir aku bisa melewati fase-fase heartburn ini. Memasuki trimester kedua, aku bisa menjalani kehamilanku dengan lebih sehat dan ceria. Hanya sesekali gastritisku kumat. Sedangkan heartburn nyaris tidak pernah kurasakan lagi.

Memasuki trimester ketiga, gastritis kembali menjadi ujian yang harus aku hadapi. Perih lambung kembali kuderita terutama di malam hari. Nyaris tidak pernah tidur malam dengan nyenyak dan lama, karena tiap 2 jam aku harus bangun untuk makan sesuatu. Aku bertahan hanya mengandalkan modifikasi gaya hidup dan diet, serta sesekali menggunakan antasida untuk mengatasi gastritis yang kumat. Meskipun oleh dokter akhirnya aku diperbolehkan minum Ranitidine, tidak sebiji pun obat itu aku minum hingga tanggal kelahiran tiba.

Karena kurang tidur, paginya aku harus berjuang untuk mempersiapkan diri berangkat ke kantor. Di kantor, aku berada dalam kondisi fisik yang sangat lelah. Kurang tidur, gerak yang terbatas karena perut yang semakin membesar, nafas yang tersengal-sengal, belum lagi deadline pekerjaan kantor yang harus segera kuselesaikan sebelum aku cuti hamil. Karena kuatir melihat kondisiku, suami menyarankan agar aku segera cuti saja. Tapi aku menolak dan memilih mengambil cuti sesaat sebelum due date, supaya dapat lebih lama merawat bayiku. Puji Tuhan, akhirnya aku dapat melewati semua itu, dan mengambil cuti 2 hari sebelum tanggal berlangsungnya operasi sesar.

Kini, Josh telah berusia 9 bulan. Kelahirannya membawa keajaiban yang tidak pernah kuduga-duga. Gastritisku SEMBUH...  It’s a miracle ... thanks God ..

Selama 9 bulan ini, baru satu kali aku minum obat antasida karena gastritis yang kumat. Itupun karena aku minum kopi. Selebihnya, gastritis yang biasanya kumat karena faktor kelelahan akan sembuh sendiri hanya dengan berbaring leyeh-leyeh di tempat tidur selama 1 jam. Ajaib bukan? Sekarang aku bahkan bebas makan dan minum apa saja tanpa kuatir gastritis akan kumat. Tom Yam, arsik, jeruk, makanan yang pedas, mie, kol, kopi,minuman bersoda ... siapa takut ... ^0^

I'm Pregnant ...


AKHIR PENANTIAN PANJANG 



Penantian panjang selama empat tahun akan kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga kecil kami, akhirnya dijawab Tuhan hari itu, 22 November 2010. Di tengah padatnya jadwal tugas keluar kota – aku baru pulang dari Balikpapan dan Banjarmasin - , bersyukur banget aku masih diberi kepekaan untuk merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan tubuh ini. Belum juga haid selama 2 minggu dari tanggal seharusnya dan mulai merasakan sedikit mual dan pusing, akhirnya pagi itu aku memutuskan untuk tes urine (air seni) dengan menggunakan strip test kehamilan.

Dua Garis yang Mendebarkan

Strip test kehamilan yang aku gunakan adalah merek  Sensitif . Pertama-tama aku harus menampung urine pagi yang keluar pertama kali. Urine aku tampung dalam sebuah wadah plastik yang bersih dan kering (aku pakai botol bekas air mineral yang sudah dipotong supaya leher botolnya ga terlalu panjang, dicuci bersih dan dikeringkan). Pernah diberi tahu oleh petugas laboratorium kalau pemeriksaan urine, sebaiknya yang dipakai adalah urine tengah. So, urine awal aku buang, baru setelah itu urine ditampung dan berhenti menampung sebelum seluruh urine keluar, supaya urine akhir tidak ikut tertampung.

Strip dicelupkan ke dalam urine secara vertikal dengan posisi strip yang ada tanda panahnya menghadap ke bawah, jangan melebihi tanda “Max” yang tertera di strip. Setelah strip tercelup selama 30 detik, strip diangkat dari wadah dan diletakkan pada tabel komparasi yang disediakan dalam kemasan. Tunggu selama 2 menit, hasil akan terlihat berupa garis merah keunguan, satu atau 2 garis.

Dua menit yang mendebarkan saat perlahan-lahan cairan solusi yang ada dalam strip bergerak naik melalui area strip. And very surprised ketika melihat 2 garis merah keunguan tampak jelas terbaca pada strip.  Yang artinya .... AKU HAMIL ... Benarkah ??

Berdasarkan teori konsepsi / pembuahan, jika sel telur (ovum) bertemu dengan sperma di tuba falopii wanita, hasil pembuahan yang disebut zygot akan bernidasi ke endometrium (dinding rahim) yang kemudian akan menghasilkan hormon Chorionic Gonadotropin (hCG). Hormon inilah yang akan ditemukan dalam urine wanita hamil sejak usia kehamilan 6 hari. Akan terdeteksi oleh test pack jika kadarnya lebih atau sama dengan 25 mlU / ml.

Meskipun produsen  Sensitif menyebutkan tingkat keberhasilan alat ini bisa mencapai 99,99 %, tetap saja rasanya belum mantap kalau belum mengkonfirmasikan hasil tes urine ini langsung ke ahlinya. So, tak ingin berspekulasi lebih lama, pagi itu juga aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke Dokter Spesialis Obsteri Ginekologi (Obgyn) di RS Mitra Kasih Cimahi .

Datang sendiri tanpa didampingi suami (yang pagi itu betul-betul tidak bisa meninggalkan kewajibannya sebagai dosen) membuat proses menunggu antrian di ruang tunggu  jadi lebih menggelisahkan. Tapi antrian yang panjang dan melelahkan segera terlupakan begitu namaku dipanggil. Setengah dag dig dug karena nggak kebayang pemeriksaannya seperti apa, akhirnya aku masuk.

Seorang dokter Obgyn wanita menyapaku dengan ramah. Aku memang sengaja memilih dokter wanita karena merasa lebih nyaman dan bisa lebih leluasa bertanya, berdiskusi atau menyampaikan keluhan-keluhan tanpa rasa malu. Juga rasanya lebih tenang aja karena yakin dokter wanita juga pernah mengalami masa-masa kehamilan yang membuatnya lebih mudah berempati.

USG yang Pertama

Setelah menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan dokter, akhirnya aku diperiksa dengan USG 2 dimensi. USG (Ultrasonografi) adalah prosedur pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara tinggi yang dipantulkan ke tubuh untuk memperlihatkan gambaran rahim dan isinya yang memberikan informasi dalam bentuk gambar (sonogram) yang dapat kita lihat di layar monitor maupun hasil print out-nya.

Sebelum diperiksa, perut bagian bawah (disanalah letak rahim) diolesi dulu dengan gel untuk memudahkan pergerakan alat probe yang digenggam oleh dokter Obgyn.
Oooh begini rasanya diperiksa dengan USG, baru tau ... :)

Hasil USG mengkonfirmasi kebenaran hasil tes urine tadi pagi. AKU HAMIL !! Ada sebentuk embrio yang sedang berkembang di rahimku yang usianya sudah 6 minggu. Puji Tuhan, akhirnya dapat kurasakan kehadirannya. Sukacita luar biasa mendorongku segera BBM suami lengkap dengan foto hasil USG. Dan tentu saja tak lupa update status di social media, hehe ..



Friday, April 20, 2012

Akhirnya Blogging ...


Setelah Josh genap berusia 9 bulan, akhirnya memantapkan hati untuk mulai blogging untuk sharing pengalaman merawat dan mengasuh Josh.  Lahir dari kenyataan bahwa ternyata menjadi ibu baru itu (sungguh) tidak mudah. Serba bingung, panik, heboh, stress, ga tau mesti berbuat apa. Semua  karena minimnya pengalaman.

Di saat tidak banyak orang yang bisa dijadikan tempat untuk bertanya dan berguru, saya merasakan bahwa internet adalah media termudah dan tercepat untuk mendapatkan informasi atas pertanyaan dan kondisi yang harus segera saya atasi. Tinggal googling pakai smartphone atau lepi, dapat deh infonya, meskipun ternyata tidak semua informasi benar dan sesuai dengan kondisi pengasuhan kita.

So, blog ini akan menjadi tempat curahan hati saya selama saya diberikan kesempatan menjadi ibu dari seorang bayi imut, Joshua Anargya Lasia. Just sharing, bukan bermaksud ngajarin atau sok menggurui. Mungkin bisa melengkapi referensi para Bunda yang menghadapi kondisi yang sama dengan yang saya alami. Semoga  bermanfaat ...