Monday, April 30, 2012

Perjalanan Mencari Dokter Obgyn yang Tepat



SETELAH 5 DOKTER OBGYN

Kehamilan selama 40 minggu menjadikan Dokter Kandungan atau Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi / Obgyn  adalah sosok dokter yang akan dikunjungi oleh ibu hamil secara rutin. Diperkirakan seorang ibu hamil selama masa kehamilan dan persalinannya, akan menemui Dokter Obgyn sebanyak 14 kali. Konsultasi secara berkala ditetapkan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pada umumnya semakin dekat waktu persalinan, maka semakin sering dan intensif dilakukan pemeriksaan.

Jika tidak ada keluhan khusus, biasanya frekuensi pemeriksaan berkala kehamilan diatur sebagai berikut :
1. Usia kehamilan  0 – 12 minggu : periksa setiap 3  - 4 minggu
2. Usia kehamilan 13 – 28 minggu : periksa setiap 2 minggu
3. Usia kehamilan 29 - 40 minggu : periksa setiap 1 minggu

Karenanya, sangat penting untuk bisa ‘menemukan’ Dokter Obgyn yang tepat, supaya ibu dapat menjalani kehamilan dan persalinannya dengan aman, tenang dan nyaman.

Aku punya pengalaman unik dalam perjalanan ‘menemukan’ Dokter Obgyn yang sreg di hati. Setelah 5 Dokter Obgyn dan usia kehamilan 19 minggu, aku akhirnya bisa menetapkan pilihan pada satu Dokter Obgyn yang memenuhi syarat yang aku tetapkan untuk membantuku selama menjalani proses kehamilan hingga persalinan.

Ini kisahnya ...

Dokter Obgyn Pertama

Kunjungan pertamaku ke Dokter Obgyn terjadi tanggal 22 November 2010 di RS Mitra Kasih Cimahi, setelah test urine pagi harinya mengkonfirmasi bahwa aku hamil. Karena fasilitas asuransi kesehatan yang disediakan kantor  yaitu Inhealth , hanya bisa dilakukan di rumah sakit dan tidak di praktek pribadi, maka pagi itu aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke RS Mitra Kasih Cimahi, rumah sakit terdekat dari rumah.

Aku ditangani oleh dr L, SpOG, seorang Dokter Obgyn perempuan, usia sekitar 40-an, ramah dan cukup telaten memeriksaku. Beliau menanyakan riwayat menstruasiku dan kapan tanggal menstruasi terakhir yang masih aku ingat. Informasi ini diperlukan Dokter untuk menentukan usia kehamilan. Dokter juga menanyakan keluhan-keluhan yang aku alami, sebelum akhirnya melakukan pemeriksaan dengan USG.

Hasil USG membenarkan hasil tes kehamilan menggunakan urine yang aku lakukan tadi pagi. Aku dinyatakan hamil dengan usia kandungan sudah 6 minggu dan tanggal perkiraan persalinan adalah tanggal 17 Juli 2012.

Meskipun saat awal kehamilan aku belum merasakan gastritis seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku sempat menginformasikan riwayat gastritis yang kuderita sebelum hamil kepada Dokter. Dokter cukup tanggap dengan membekaliku resep obat antasida yang bisa aku minum jika suatu saat gastritisku kumat.

Dokter Obgyn Kedua

Masalah mulai muncul ketika seminggu  setelah dinyatakan hamil, gastritisku mulai sering kumat yang disertai dengan gejala perih lambung dan kembung. Meskipun dari Dokter Obgyn pertama aku sudah dibekali obat antasida, entah mengapa saat itu aku ragu-ragu untuk meminumnya. Aku memilih mengabaikan gejala yang muncul meskipun gejala-gejala itu membuatku sangat tidak nyaman dan merasa tidak sehat. Mungkin ini naluri untuk melindungi janinku dari kontak dengan obat-obatan yang (aku pikir) tidak perlu.

Ternyata aku hanya sanggup bertahan selama 2 hari menghadapi gastritis yang kambuh tanpa diobati. Karena sudah tidak tahan lagi, bersama suami sore itu aku diantar ke seorang Dokter Obgyn perempuan yang membuka praktek pribadi di sebuah apotek. Aku terpaksa tidak bisa kembali konsul ke dr. L, dokter Obgynku yang pertama karena beliau hanya praktek di RS Mitra Kasih Cimahi pagi hingga siang hari dan pada kunjungan pertamaku kemarin, aku lupa menanyakan tempat praktek pribadinya.

Setelah menunggu 20 orang lebih, akhirnya tiba juga giliranku untuk diperiksa. Dokter melakukan prosedur yang sama seperti Dokter Obgyn pertama, menanyakan riwayat menstruasiku, tanggal menstruasi terakhir dan diakhiri dengan pemeriksaan USG.

Kepanikan muncul ketika Dokter tidak menemukan sebentuk janin di rahimku melalui pemeriksaan USG. Heeeh??? Kok bisa??? Beberapa kali kulihat Dokter menggulirkan probe-nya untuk menemukan posisi yang tepat agar janin terlihat. Tapi tetap saja sang janin tidak kelihatan.

“Ibu keliatannya kurang minum ya?” kata Dokter. “Masa sih Dok?” sahutku. Sepertinya kok aku sudah minum cukup banyak air ya, batinku. “Iya, janin bisa jadi nggak kelihatan di USG karena ibu kurang minum. Jadi, sekarang ibu keluar dulu, minum yang banyak, kalo sudah kepengin pipis, nanti bilang susternya supaya masuk lagi untuk diperiksa. “

Doooeeenngggg .... Aku dan suami keluar dari ruang praktek dokter sambil saling menatap bingung. Kecemasan terlihat jelas di mata suamiku. Aku tahu yang ia rasakan. Ia pasti kuatir dan takut kehilangan sukacita dan harapan akan kehadiran seorang anak yang sempat kami rasakan seminggu terakhir ini.

Sambil berusaha menenangkan suamiku dan berkata semua akan baik-baik saja, aku minta dibelikan air mineral. Suamiku datang dengan 2 botol air mineral ukuran 600 ml dan 1 botol ukuran 1,5 L. Pelan-pelan aku mencoba menghabiskan air mineral  itu dan berharap rasa kepengen pipis segera muncul supaya kami tidak perlu menunggu terlalu lama lagi. Setengah jam kemudian, setelah berhasil menghabiskan 2 botol @ 600 ml, rasa kepengen pipis itu akhirnya muncul. Di ruang tunggu tinggal 2 pasien lagi termasuk aku. Ah, rasanya lelah sekali harus menunggu berjam-jam seperti ini ...

Dokter kembali memeriksa kandunganku dengan USG. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan sebentuk embrio di rahimku yang tampak melalui monitor. Legaaa rasanya ...

Begitu keluar dari ruang praktek dokter dan membaca isi kertas resep yang dituliskan Dokter (inilah enaknya jadi Apoteker, bisa baca dan menilai isi resep sebelum ditebus, hehe)  kembali aku mengerutkan kening. Dokter meresepkanku obat mual-muntah dengan bahan aktif Ondansetron. Hmm, untuk apa ya? Setahuku, aku tidak mengalami mual-muntah sampai harus terapi menggunakan ondansetron. Kan keluhanku hanya seputar gejala gastritis yaitu perih lambung dan kembung?

Iseng aku minta petugas apotik menghitungkan harga resep itu jika aku tebus. Tiga ratus ribu rupiah!!! Wooww ... aku harus kehilangan uang sebanyak itu untuk membeli obat yang tidak tepat indikasi?? Hmm, engga deh ...

Aku putuskan untuk tidak menebus resep itu dan tidak kembali lagi ke Dokter Obgyn ini ...

Dokter Obgyn Ketiga

Gastritis menerorku terus dari hari ke hari. Setelah kejadian kunjungan Dokter Obgyn yang kedua, akhirnya aku memutuskan menggunakan obat antasida yang pernah kuterima dari Dokter Obgyn yang pertama. Gejala gastritis memang menghilang setelah pemakaian antasida, sayangnya tidak bertahan cukup lama.

Tepat di hari ulang tahunku, 2 Desember 2010, gastritisku kembali kumat parah-parahnya. Kelelahan sepulang dari kantor ditambah stres yang tidak kusadari karena ditinggal suami tugas keluar kota, membuat lambungku terasa sangaaaat periiihh ... Aku sampai menangis saking tidak tahannya. Karena kuatir melihat keadaanku, akhirnya mama mengajakku untuk berobat (lagi) ke dokter.

Kembali karena gejala baru kurasakan sore hari, aku tidak bisa berobat ke Dokter Obgyn pertamaku di RS Mitra Kasih. Datang lagi ke Dokter Obgyn kedua rasanya enggan dan kapok. Akhirnya aku memutuskan untuk berobat ke Dokter Obgyn ketiga, seorang Dokter Obgyn lain yang juga kelihatannya cukup terkenal karena antrian pasiennya cukup panjang.

Kali ini Dokter Obgynnya laki-laki, dr. UG., SpOG. Terpaksa berobat ke situ karena aku tidak punya referensi dokter lain yang tempat prakteknya tidak jauh dari rumah. Ditambah perih yang seperti mengiris-iris lambung, membuatku pengen cepat-cepat ditangani dokter.

Kembali aku harus menjalani pemeriksaan USG (untuk yang ketiga kalinya dalam kurun waktu 2 minggu). Kusampaikan keluhan gastritisku dengan detil, termasuk riwayat pengobatan dari Dokter Obgyn yang pertama dan kedua, dengan harapan pengobatan yang diberikan tidak mengulang lagi dari yang diberikan oleh 2 dokter sebelumnya. Aku mendapat obat antibiotik Amoxicillin dan vitamin.

Setelah mencoba mengingat lagi teori tatalaksana gastritis, akhirnya aku sepakat mencoba obat yang diresepkan oleh dr. UG ini. Mungkin dokter melihat adanya indikasi infeksi Helicobacter pylori sehingga memberiku Amoxicillin. Dan memang setelah beberapa kali minum antibiotik itu, lambungku menjadi lebih nyaman dan aku bisa mengatasi gejala gastritis yang tidak separah sebelumnya.

Aku masih bimbang untuk menjadikan dr. UG ini sebagai dokter Obgyn tetapku. Selain karena prakteknya tidak di rumah sakit, yang artinya tidak dapat diklaim oleh asuransi kesehatan fasilitas kantor, faktor gender juga masih membuatku belum sreg. Pasiennya yang cukup banyak sehingga harus mengantri berjam-jam juga menjadi salah satu bahan pertimbanganku.

Di tengah proses timbang menimbang itu, tidak disangka aku mendapat informasi yang menciutkan hati tentang dokter ini. Menurut informasi atasanku di kantor yang juga seorang dokter, dr. UG ini bukan seorang dokter Spesialis Kandungan. Ia hanya dokter umum yang lama bekerja di poli kandungan.

“Hah, masa sih?” debatku. “Bagaimana bisa seorang dokter umum praktek sebagai spesialis? Kan sudah ada aturannya dari DepKes?”

Penasaran, aku segera mengecek kartu berobat yang aku terima dari suster bagian pendaftaran. Dan terkejut setengah mati karena di kartu berobat itu sang dokter memang tidak mencantumkan gelar yang menunjukkan bahwa dia adalah spesialis obgyn, yaitu SpOG. Aku mulai ragu-ragu, dalam hati mulai percaya pada informasi dari atasanku. Logikanya, gelar adalah identitas seorang dokter. Tidak mungkin ia mengabaikan gelar itu dan tidak mencantumkannya di kartu berobat, kecuali dia memang tidak punya gelar itu.

Semakin penasaran, aku minta suami datang lagi ke apotek tempat sang dokter praktek dan baca lagi plang si dokter, apakah di situ tertulis gelar SpOGnya. Dan ternyata faktanya sama, tidak ada gelar SpOG yang tertulis di belakang namanya.. Heeehhhh ??

Aku langsung memutuskan untuk tidak lagi kontrol kehamilan ke dokter itu...

Dokter Obgyn Keempat

Gastritisku yang semakin menjadi-jadi mendorongku untuk (terpaksa) mencari opini dari Dokter Obgyn lain. Kali ini pilihannya adalah seorang Dokter Obgyn terkenal di RS Borromeus Bandung. Menurut pendapat beberapa orang teman, meskipun seorang pria, dokter ini sangat ramah, telaten dan baik hati. Okay, mari kita coba ...

Aku dipanggil masuk ke ruang periksa disaat pasien sebelum aku masih ada di dalam ruangan itu. Dari mencuri dengar pembicaraan mereka, sepertinya dokter ini memang seperti info-info yang aku dengar. Secercah harapanku muncul, berharap dokter ini bisa menjadi ‘pelabuhan terakhirku’ hingga masa persalinan lagi.

Namun entah apa yang terjadi, begitu tiba giliranku diperiksa, semua deskripsi tentang dokter yang ramah, telaten dan baik hati lenyap seketika. Baru saja aku menceritakan keluhan gastritisku, dengan nada tajam, dokter itu ‘menceramahi’ kami berdua. Dia mengatakan bahwa anak adalah anugerah bagi sebuah keluarga, tidak setiap keluarga diberi kepercayaan punya anak, anak-anak autis banyak disebabkan karena kelahirannya tidak diinginkan, bla...bla...bla...

Aku bengong sebengong-bengongnya ... Penjelasan dokter bener-bener ga nyambung dengan apa yang aku keluhkan. Yang bikin lebih kaget, ketika aku menanyakan apakah ada obat lain selain antasida untuk mengatasi gastritisku, dengan ketusnya sang dokter berucap, “ Kalo ibu minta obat lain, cari dokter lain aja, ga usah datang lagi ke saya ...”

Ooohhh, ga usah disuruh dua kali Dok, saya pastikan ini adalah kunjungan pertama dan terakhir saya  ..., ujarku dalam hati dengan kesal dan tersinggung.

Mungkin hari itu aku memang sedang tidak beruntung. Harus bertemu dengan dokter yang sombong dan sangat menyebalkan, eee.. sampe di kasir, ternyata aku harus bayar pakai uang pribadi karena rumah sakit belum bekerja sama dengan kartu Inhealth tipe yang aku pegang. Nasiibbb ....

Dokter Obgyn Kelima


Pengalaman buruk bertemu Dokter Obgyn yang keempat, membuatku mengevaluasi lagi 4 Dokter Obgyn yang sudah pernah aku temui. Setelah diingat-ingat lagi, sebenarnya aku tidak punya masalah dengan Dokter Obgyn pertamaku. Kendala hanya muncul ketika aku tidak bisa konsul pada beliau di sore hari. Karenanya kutetapkan untuk kembali mengunjungi dr. L, SpOG di RS Mitra Kasih Cimahi sambil memeriksakan kehamilanku yang sudah memasuki bulan ketiga.

Sampai di rumah sakit, kembali aku mendapat surprise. Menurut mbak di bagian Pendaftaran, dokter L ternyata sudah tidak praktek lagi di rumah sakit ini karena pindah ke luar kota. Penggantinya adalah seorang dokter Obgyn pria. Ahhhh ....

Karena sudah terlanjur tiba di rumah sakit, aku memutuskan untuk tetap diperiksa oleh dokter pengganti  Dokter L. Dan kembali harus kecewa karena aku merasa kurang sreg dengan dokter ini ...

Dokter Obgyn Keenam

Rasanya nyaris putus asa menemukan dokter Obgyn yang tepat, sementara kehamilanku terus berkembang dan sudah waktunya kembali kontrol. Akhirnya atas masukan seorang teman kantor, aku datang  ke RSIA Hermina Pasteur Bandung. Menurut temanku itu, di rumah sakit ini, setiap jam tersedia banyak pilihan dokter Obgyn yang praktek, mau dokter wanita ataupun pria, tinggal pilih.

Siang itu, 26 Februari 2012, menurut bagian pendaftaran, terdapat tiga orang Dokter Obgyn perempuan yang praktek. Mbak resepsionis menyebutkan nama-nama dokternya. Aku terdiam beberapa menit, mencoba menajamkan feelingku, sebelum akhirnya aku memutuskan,” Ke dokter T aja deh Mbak.”

Gambling, cuma itu misiku konsul ke dokter Obgyn siang ini. Pasrah adalah misi berikutnya. Hanya berharap feelingku ketika memilih di antara 3 nama tadi tidak salah.

Sambil menunggu giliran, aku mencuri dengar pembicaraan ibu yang sedang membahas si dokter T dengan ibu sebelahnya. Sepertinya recommended Obgyn nih ... pikirku dalam hati.

Puji Tuhan, ketika selesai diperiksa dan keluar dari tempat prakteknya, aku merasakan bahwa pencarianku untuk menemukan dokter Obgyn yang tepat telah berakhir. Dr T, SpOG memenuhi kriteriaku. Ramah, cerdas, telaten, dan yang terpenting, bisa diajak diskusi ...

Sejak itu, aku tidak pernah ganti dokter Obgyn lagi. Dokter T terus membantuku menjalani kehamilanku dengan nyaman dan aman. Beliau pula yang menangani persalinanku melalui operasi sesar. Makasih banyak Dokter T ....


0 komentar:

Post a Comment