This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, May 8, 2012

Amankah Terbang Selama Hamil ?


Aku dinyatakan positif hamil di saat aku baru saja pulang dari tugas kantor di Banjarmasin. Padahal seminggu sebelumnya aku juga baru pulang dari Balikpapan. Tes kehamilan pun aku lakukan 3 hari sebelum jadwal  terbangku ke Palembang.

Bulan-bulan itu aku memang dihadapkan pada jadwal tugas luar kota yang sangat padat. Tidak heran aku sampai tidak sempat memperhatikan jadwal menstruasiku. Kalaupun terlambat, aku menganggapnya wajar karena aku sedang sangat sibuk dan mungkin kelelahan. Karenanya aku sangat bersyukur masih diberi kepekaan untuk merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tubuhku di tengah kesibukan yang sedang memuncak. Mungkin itu cara janinku berkomunikasi dengan mamanya. Ga kebayang kalo saat itu aku abaikan sinyal-sinyal kehamilanku dan terus tenggelam dalam kesibukan travelling dari satu pulau ke pulau lainnya. Mungkin aku akan kehilangan bayiku ...

Hasil USG menunjukkan bahwa aku positif hamil dengan usia kehamilan sudah memasuki 6 minggu. Janin dan ibunya sehat, kata dokter. Aku sangat bersyukur. Dan sangat kagum pada kekuatan janinku. Ia tumbuh di saat mamanya sedang sibuk travelling dan belum menyadari kehadirannya.

Betapa tidak. Di saat usianya yang masih sangat muda (mungkin baru 3 minggu), ia sudah ikut aku bepergian ke Samarinda. Untuk mencapai Samarinda, aku harus naik pesawat dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Karena aku tinggal di Bandung, berarti aku harus menempuh perjalanan darat terlebih dahulu menggunakan travel dari Bandung ke Jakarta sekitar 4 jam. Setelah terbang sekitar 2 jam, aku landing di Balikpapan. Samarinda adalah ibu kota propinsi Kalimantan Timur. Letaknya 3 jam perjalanan dari  Balikpapan. Untuk bisa mencapai Samarinda, kita harus melewati Bukit Soeharto yang tidak hanya berkelok-kelok tapi juga naik turun karena membelah bukit. 10 jam di jalan sejak dari Bandung – Jakarta – Balikpapan – Samarinda, sungguh perjalanan yang sangat melelahkan ...

Seminggu kemudian, aku kembali terbang ke Tanah Borneo, kali ini ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Memang tidak seruwet perjalanan menuju Samarinda, tapi tetap saja melelahkan. Karena belum tau kalau sedang hamil, aku masih memakai high heels, berjalan cepat  dan menenteng sendiri laptop dan proyektor selama tugas luar kota. Sungguh luar biasa jika di tengah perjalanan dinas seperti itu, aku tidak mengalami keguguran ... Praise The Lord untuk kesempatan menjadi ibu yang masih diberikanNYA ...

HARUSKAH TETAP TERBANG ?

Setelah dinyatakan positif hamil, aku dihadapkan pada dilema antara menjaga kehamilan atau menyelesaikan jadwal dinas luar kotaku. Masih ada beberapa kota yang harus aku kunjungi : Palembang, Pontianak dan Makassar. Setiap kali terbang, aku harus menempuh 4 jam perjalanan darat menuju Jakarta. Belum lagi peralatan perang yang harus aku bawa setiap kali tugas : travel bag, tas tangan, laptop, proyektor. Dan juga pertanyaan, amankah terbang selama hamil?

Menurut  American College of Obstetricians and Gynecologists , perjalanan SESEKALI dengan pesawat terbang telah dinyatakan aman bagi wanita dengan usia kehamilan hingga 36 minggu, dengan syarat tidak memiliki komplikasi di saat hamil atau penyakit penyerta lainnya. Idealnya dilakukan pada usia kehamilan 18 – 24 minggu, karena pada saat itu resiko keguguran telah jauh berkurang kemungkinannya dan tanggal kelahiran masih jauh. Meski demikian, tidak ada data yang menyatakan bahwa melakukan perjalanan dengan pesawat udara bagi wanita hamil berbahaya. Namun memang harus dihindari bagi wanita hamil yang memilik penyakit penyerta kehamilan dan komplikasi kehamilan seperti tekanan darah tinggi yang tercetus akibat kehamilan (pregnancy induced hypertension), preeklampsia, diabetes yang kadar gula darahnya sulit / tidak dikontrol, anemia berat, kehamilan ganda, perut yang sangat meregang, mual muntah yang hebat, ari-ari yang menutupi jalan lahir (plasenta previa) dan lain sebagainya.

Hmm, jika berdasarkan referensi di atas, berarti usia kehamilanku yang masih 6 minggu cukup beresiko untuk melakukan penerbangan, meskipun aku sudah kecolongan dua kali, terbang di saat usia kehamilan baru 3  dan 4 minggu. Faktor kelelahan selama perjalanan juga dapat meningkatkan resiko kehamilanku. Belum lagi barang-barang yang harus aku bawa.

Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya aku mantap menghentikan semua perjalanan luar kotaku. Puji Tuhan atasan dan rekan-rekan kerjaku mengerti. Mereka tahu persis kalau aku belum juga punya anak setelah 4 tahun menikah. Mereka amat maklum kalau saat ini aku memilih memprioritaskan keselamatan bayiku. Sepertinya mereka juga tidak mau mengambil resiko disalahkan jika sesuatu terjadi pada kehamilanku jika perjalanan luar kota itu tetap harus aku lakukan. Kebetulan perjalanan luar kota itu masih dapat di-reschedule dan digantikan oleh stafku.

Syukur pula aku mengambil keputusan itu, karena sesudahnya, kehamilanku ternyata tidak mudah. Gastritis dan heartburn menderaku. Ga kebayang gimana aku bisa bepergian keluar kota dalam kondisi seperti itu.
Aku tidak pernah terbang lagi hingga masa melahirkan tiba, meskipun setelah memasuki trimester kedua, kondisi kehamilanku lebih baik dan usia kandungan sesuai rekomendasi ACOG. Aku memilih ‘jaga kantor’ dan mendelegasikan tugas-tugas luar kota pada dua orang stafku. Dasar emang hobi, sesekali kerinduan untuk travelling mendera ... 

Monday, May 7, 2012

Menyetir Saat Hamil



Aku dinyatakan hamil di saat suami sedang terikat jadwal mengajar yang cukup padat di sebuah universitas di Jakarta, sementara kami tinggal di Bandung. Karena jauh dari keluarga besar dan memiliki teman-teman dekat yang terbatas jumlahnya, maka praktis kami terbiasa hidup mandiri dan memenuhi kebutuhan kami sendiri berdua saja. Termasuk saat aku hamil dan harus ditinggal suami ke luar kota.

Sebelum hamil, jika suami tidak sedang keluar kota, aku menjadi supir pribadinya. Kebetulan jam kerja suami lebih pagi dan jam pulang kantornya pun lebih sore, sehingga tugas antar jemput suami menjadi bagianku. Pagi, aku antar suami dulu ke kampusnya sebelum berangkat ke kantorku sendiri. Sorenya, aku mampir ke kampus suami lagi dan menunggunya hingga jam mengajarnya berakhir pukul 6 sore.

Sejak hamil, suami memutuskan untuk membawa motor sendiri sementara mobil tetap aku yang bawa. Tujuannya supaya aku tidak perlu mengantar-jemputnya lagi dan kelelahan karena menunggunya hingga jam 6 sore. Tidak mudah mencapai keputusan ini karena artinya aku harus menyetir sendiri dalam keadaan hamil.

Dengan kondisi kehamilanku di trimester awal yang tidak terlalu mudah –aku mengalami gastritis dan heartburn – menyetir sendiri memang butuh perjuangan ektra. Seringkali aku harus menyetir dalam kondisi lambung perih atau kembung. Belum lagi keruwetan lalu lintas yang harus kuhadapi di sepanjang jalan Pasteur Bandung yang selalu macet setiap kali jam pulang kantor. Aku dituntut untuk tetap konsentrasi menyetir kalau tidak ingin situasi tambah runyam karena nyenggol pengguna jalan lainnya. Hasilnya, aku tiba di rumah dalam keadaan sangat lelah ...

Tidak jarang aku juga harus menyetir sendiri ke tempat praktek Dokter untuk konsul gastritisku yang menjadi-jadi. Lambung perih, hujan pula, fyuuhh .. benar-benar perjuangan ...

TIPS MENYETIR SAAT HAMIL

Jika Moms harus menyetir saat hamil seperti yang aku alami, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum menyetir. Ini beberapa tips tetap aman menyetir saat hamil yang aku rangkum dari pengalaman pribadi dan hasil googling.

1.Siap fisik dan mental 
Pastikan kondisi fisik dan mental kita memungkinkan untuk menyetir. Jangan memaksakan diri, karena akan sangat berbahaya bagi ibu dan janin. Menyetir membutuhkan konsentrasi tinggi dan merupakan kegiatan yang beresiko tinggi jika dilakukan saat hamil. Pastikan kondisi kehamilan Moms memungkinkan untuk menyetir sendiri dan tidak mengalami gangguan kehamilan seperti perdarahan atau kejang perut.

2.Jarak tempuh sebaiknya tidak terlalu jauh
Menyetir membutuhkan konsentrasi tinggi yang menguras energi, dapat menyebabkan ibu hamil kelelahan. Jika harus menyetir jarak jauh, sebaiknya tidak menyetir sendiri (ada yang mendampingi) dan sering berhenti (setiap 30 – 45 menit) untuk beristirahat.

3.Hindari jalan yang berlubang dan tingkat kemacetan tinggi
Jika memungkinkan, sebaiknya hindari melewati jalan yang rusak atau berlubang untuk mencegah terjadinya guncangan yang bisa membahayakan janin. Hindari juga jalan dengan tingkat kemacetan tinggi yang akan membuat ibu hamil stres dan kelelahan. Sedikit memutar lebih baik daripada kita harus duduk dalam mobil yang tidak bergerak berjam-jam karena terjebak macet.

4.Bawa perlengkapan perang
Botol minum, camilan, permen, kipas angin, tissue, handuk kecil, kantung kresek, dll .. pokoknya semua peralatan yang biasanya Moms pakai untuk membuat kehamilan tetap nyaman.

5.Pakai sabuk pengaman dengan benar
Meskipun kadang tidak nyaman, sabuk pengaman tetap harus dipakai. Sebaiknya di bawah perut dan menyilang di dada. Pastikan sabuk tidak menekan perut terlalu keras. Tidak memakai sabuk pengaman sama sekali jauh lebih beresiko dibanding ketidaknyamanan saat menggunakan sabuk pengaman.

6.Atur posisi duduk
Atur jarak antara perut dan setir, jangan terlalu dekat supaya kita bisa bernafas lega dan perut tidak tertekan. Juga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena keluarnya airbag jika kecelakaan terjadi. Atur juga jarak kursi dengan dashbor, pastikan kaki bisa leluasa berpindah pedal tanpa menimbulkan pegal atau aliran darah tidak lancar.

7.Sebelum 7 bulan
Menyetir sendiri dalam keadaan hamil masih dianggap aman hingga usia kehamilan 27 minggu. Paling ideal adalah usia kehamilan 14 - 27 minggu, sebab keluhan mual dan muntah biasanya sudah berkurang serta ukuran perut belum terlalu besar.  Diatas usia itu, sebaiknya kegiatan menyetir sendiri dihentikan demi keamanan ibu dan bayi dalam kandungan.

Melihat kondisiku yang tidak memungkinkan untuk terus menyetir sendiri dan resiko yang bisa membahayakan bayiku, suami memutuskan untuk cuti sementara dari pekerjaannya di Jakarta di semester berikutnya, bertepatan dengan kehamilanku yang memasuki trimester kedua. Ia juga mengatur jam mengajarnya di sebuah kampus di Bandung sedemikian rupa, supaya bisa mengantar jemputku setiap hari.

Ah, leganya ... Makasih ya Pap... 

Saturday, May 5, 2012

Kehamilan dan Sensitif terhadap Bau


Tersiksa oleh Bau Masakan


Selain gastritis dan heartburn , tanda kehamilan lain yang juga aku alami adalah semakin sensi terhadap bau-bauan tertentu. Seharusnya ini tidak akan terlalu mengganggu kalo aja sensitifitas yang meningkat bukan terhadap BAU MASAKAN .

Suer, sensitif terhadap bau masakan itu menyiksa banget lo, Moms ... Secara masak memasak adalah akitivitas rutin yang emang biasa aku lakukan sendiri di rumah sebelum hamil.

Aku mulai merasakannya ketika usia kehamilanku memasuki 8 minggu. Awalnya hanya perasaan tidak nyaman setiap kali mengupas bawang, terutama bawang putih. Kemudian meningkat di saat aku mulai menumis atau menggoreng sesuatu yang berbumbu. Aku harus menutup hidung pakai tangan atau pakai sapu tangan. Karena ribet, akhirnya terpaksa pakai masker. Lama-lama, aku harus betul-betul menghentikan acara masak memasak  karena hidung bener-bener nggak bisa mentolerir lagi bau masakan.

Karena sebelum hamil aku memang tidak mempekerjakan asisten rumah tangga, akhirnya untuk memenuhi asupan makanan homemade yang sehat dan bergizi, mama datang dari Malang untuk membantuku. Syukurlah akhirnya mama datang, karena sesudahnya, sensitivitasku terhadap bau masakan semakin menjadi-jadi.

Setiap pagi saat mama mulai menyiapkan sarapan, ‘penderitaanku’ dimulai. Terbangun oleh bau masakan yang masuk lewat celah-celah pintu, kemudian diikuti perasaan tidak nyaman, eneg dan akhirnya mual. Meskipun jendela sudah dibuka, mual itu tidak serta merta hilang. Belakangan aku harus ‘mengungsi’ ke teras depan untuk menghindari sumber bau. Ga cukup sekedar mengungsi, aku masih harus bawa kain untuk menutup hidung. Tak jarang aku tertidur di teras karena masih mengantuk. Sarapanpun akhirnya dilakukan di teras. Dan karena sudah kadung mual mencium bau masakan, selera makan pun lenyap tak bersisa. Terpaksa menelan makanan dengan bantuan air putih . Dan yang paling repot kalau sedang bepergian. Mual bisa tiba-tiba muncul hanya karena lewat depan food court / resto / warung.

Pertanyaannya, kenapa ya ibu hamil bisa jadi sangat sensitif terhadap bau tertentu, padahal  sebelumnya bisa diterima dengan baik?

Ternyata, penyebabnya adalah hormon estrogen. Estrogen seringkali dihubungkan dengan peningkatan daya penciuman seorang wanita, bahkan yang tidak sedang hamil sekalipun.Saat hamil, level hormon estrogen wanita akan meningkat tajam. Estrogen dibutuhkan untuk membantu meningkatkan aliran darah, menjamin bayi dalam rahim yang sedang tumbuh memperoleh cukup nutrisi. Selain membantu mempertebal dinding rahim untuk mempersiapkan implantasi, estrogen juga memainkan peran yang penting dalam meningkatkan ukuran rahim secara keseluruhan.

Seperti yang dilansir Kompas , sebuah studi oleh Philadelphia's Monell Chemical Senses Center di AS mengatakan bahwa wanita di usia subur memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap aroma dibandingkan pria. Pada  grup wanita yang level estrogennya lebih rendah dibanding wanita subur (seperti perempuan di bawah usia pubertas dan wanita di atas usia menopause) ternyata memiliki sensitivitas daya penciuman yang sama dengan pria.

Saat level estrogen wanita naik-turun, begitu pun sensitivitas daya penciumannya. Ketajaman penciuman wanita naik-turun selama siklus menstruasi dan masa ovulasinya, sama seperti saat kehamilan. Sayangnya, para ilmuwan belum yakin bagaimana mekanisme kerja estrogen terhadap sensitivitas penciuman wanita hamil. Apakah estrogen mengubah sensitivitas itu di bagian otak yang mengatur penciuman atau perubahannya terjadi di hidung.

Beberapa peneliti percaya bahwa sensitivitas terhadap penciuman dan perasa itulah yang mengakibatkan morning sickness pada wanita hamil, yang berakibat pada penolakan terhadap makanan yang mengandung zat kimiawi dan racun yang bisa berbahaya bagi janinnya. Hal ini yang membuat wanita hamil sangat sensitif terhadap bau-bauan dan rasa rokok, alkohol, sayuran pahit, dan minuman berkafein. Beberapa data menunjukkan, perempuan yang mengalami mual memiliki risiko keguguran yang rendah, menguatkan teori bahwa hidung sensitif menjaga keamanan bayi.

Jadi, sensitif pada bau adalah hal yang sering terjadi pada wanita hamil, meskipun tingkatannya berbeda-beda. Syukurlah aku hanya bermasalah dengan bau masakan. Betapa tersiksanya kalo masih harus ditambah sensi terhadap bau badan sendiri, bau badan suami, fragrance yang biasa dipakai, dll ....

Wednesday, May 2, 2012

Dokter Obgyn Pilihanku


Sebagai seorang tenaga medis yang akan membantu kita menjalani masa-masa kehamilan selama 40 minggu dan masa persalinan, wajar kok kalau sebagai pasien, kita menetapkan syarat-syarat khusus dalam memilih Dokter Kandungan ( Obgyn ). Tapi tentu saja tidak semua kriteria yang kita tetapkan, dapat kita temukan pada diri seorang Dokter Obgyn.

Ini kriteria yang aku tetapkan pada saat   mencari Dokter Obgyn yang tepat , bahkan hingga harus berganti Dokter Obgyn sebanyak 6 kali.

1.Praktek di RSIA dan dicover asuransi
Ga mau rugi dong, secara inikan fasilitas kantor. Apalagi biaya konsul ke Dokter Obgyn selama kehamilan tidak sedikit. Aku memilih dokter yang praktek di RSIA yang cukup ternama tapi tidak terlalu jauh dari tempat tinggal atau kantor, karena biasanya aku kontrol kehamilan sore hari sepulang kerja.

2. Dokter Obgyn wanita
Aku merasa lebih nyaman dan tenang mempercayakan pemeriksaan kehamilanku pada seorang Dokter Obgyn wanita. Apalagi jika diperlukan pemeriksaan organ reproduksi dalam. Ini aku alami waktu kehamilanku memasuki trimester ketiga. Aku terkena vaginitis yang sangat sulit sembuh sehingga setiap kali datang berobat, Dokter harus membersihkan miss V-ku dari jamur yang membandel. Hmm ga kebayang kalau saat itu aku ditangani oleh Dokter Obgyn pria. Kok rasanya engga banget yah ...

3.Usia 
Aku sengaja mencari Dokter Obgyn wanita separuh baya, yang pastinya juga pernah mengalami kehamilan seperti yang sedang aku alami saat itu. Menurutku, Dokter yang secara keilmuan memang memliki kapabilitas di bidangnya dan juga pernah mengalami langsung proses kehamilan itu, lebih mantap dibandingkan Dokter Obgyn pria maupun wanita yang hanya bermodalkan ilmu pengetahuan, tanpa pernah merasakan langsung pengalaman menjadi ibu hamil. Dokter Obgyn wanita yang seperti ini biasanya lebih mudah berempati terhadap keluhan-keluhan kita.

4.Pengalaman 
Tentu saja Dokter yang berpengalaman di bidangnya adalah harapan kebanyakan pasien. Kita biasanya menilai poin ini dari banyak sedikitnya pasien yang antri di ruang tunggu. Aku sendiri sengaja tidak menempatkan poin ini menjadi syarat pertama memilih seorang Dokter Obgyn. Aku tipe pasien yang tidak terlalu fanatik terhadap Dokter yang terkenal, karena menurutku memilih Dokter itu cocok-cocokan. Meskipun ia terkenal, tidak menjamin akan langsung sreg dan pas di hati (aku sudah sering membuktikannya). Aku juga enggan harus menunggu terlalu lama, salah satu konsekuensi menjadi pasien dari Dokter terkenal yang pasiennya bejibun. Atau harus ribet mendaftarkan diri jauh-jauh hari saking panjangnya antrian pasien.

Aku lebih suka berkonsultasi pada Dokter dengan jumlah pasien sedang. Waktu tunggu hanya 1-2 jam, dokter pun biasanya lebih punya waktu untuk mendengarkan keluhan-keluhan kita ataupun diajak berdiskusi, karena antrian pasien yang tidak terlalu panjang.

5.Komunikasi
Ini kunci penting memilih Dokter Obgyn. Masa kehamilan yang tidak sebentar, membuat komunikasi yang baik dengan Dokter Obgyn akan sangat membantu bumil menjalani kehamilan dengan tenang dan nyaman. Dokter Obgynku harus orang yang mau mendengarkan keluhan-keluhan dan pertanyaanku dengan sabar. Dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaanku, aku membutuhkan Dokter Obgyn yang bisa diajak diskusi, bukan pembicaraan satu arah saja. Ini yang tidak kutemukan pada beberapa orang Dokter Obgyn yang sempat kutemui di awal-awal kehamilanku, sehingga aku memutuskan untuk tidak lagi menemuinya.

6.Konsep dan Idelologi yang sama
Faktor ini juga tak kalah pentingnya. Menemukan Dokter Obgyn yang memiliki konsep yang sama mengenai kehamilan dan persalinan sangat membantu bumil menjalani kehamilannya dengan mantap. Sangat tidak nyaman memiliki Dokter yang suka memaksakan kepentingannya, misalnya memaksa kita minum susu ibu hamil, mengharuskan kita menjalani persalinan dengan operasi Sesar padahal tanpa indikasi yang jelas, tidak pro ASI dan IMD, dll.

Syukurlah setelah berkelana mencari dokter yang pas di hati hingga mendatangi 5 dokter Obgyn , dokter keenam yang aku temui memenuhi seluruh kriteria yang aku tetapkan di atas .

Tuesday, May 1, 2012

Memilih Dokter Obgyn : Praktek Di RS atau Praktek Pribadi ?



Kehamilan selama 40 minggu menjadikan Dokter Kandungan atau Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi / Obgyn  adalah sosok dokter yang akan dikunjungi oleh ibu hamil secara rutin. Diperkirakan seorang ibu hamil selama masa kehamilan dan persalinannya, akan menemui Dokter Obgyn sebanyak 14 kali. Konsultasi secara berkala ditetapkan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pada umumnya semakin dekat waktu persalinan, maka semakin sering dan intensif dilakukan pemeriksaan.

Jika tidak ada keluhan khusus, biasanya frekuensi pemeriksaan berkala kehamilan diatur sebagai berikut :
1. Usia kehamilan  0 – 12 minggu : periksa setiap 3  - 4 minggu
2. Usia kehamilan 13 – 28 minggu : periksa setiap 2 minggu
3. Usia kehamilan 29 - 40 minggu : periksa setiap 1 minggu

Karenanya, sangat penting untuk bisa ‘menemukan’ Dokter Obgyn yang tepat, supaya kita sebagai ibu hamil dapat menjalani kehamilan dan persalinannya dengan aman, tenang dan nyaman.

Nah, faktor apa saja yang harus dipertimbangkan dalam menemukan Dokter Obgyn yang tepat? Berikut tips-tipsnya.

Rumah Sakit atau Praktek Pribadi

Praktek Dokter Obgyn banyak tersebar di Rumah Sakit, baik rumah sakit umum maupun rumah sakit ibu dan anak ataupun tempat praktek pribadi, seperti di rumah bersalin, apotek, klinik bersama dan lain sebagainya. Pilih yang mana?

Aku pribadi memilih Dokter Obgyn yang berpraktek di Rumah Sakit.
Ini alasannya :

1. Fasilitas Asuransi Kesehatan
Ini hal pertama yang akan menentukan ke dokter Obgyn mana kita akan memeriksakan diri. Bagi Moms yang akan menggunakan fasilitas asuransi kesehatan yang bisa untuk klaim rawat jalan, sangat penting untuk mengetahui rumah sakit mana saja yang sudah bekerja sama dengan provider asuransi kesehatan yang kita miliki. Pilihan rumah sakit dan dokter Obgynnya memang menjadi lebih terbatas dibandingkan Moms yang membayar sendiri biaya pemeriksaan kehamilannya.
Karena asuransi kesehatan yang diberikan kantor hanya dapat dilayani di Rumah Sakit, maka biar ga rugi, aku memilih dokter Obgyn di Rumah Sakit, secara pemeriksaan kehamilan kan memakan waktu sampe 9 bulan 

2. Terintegrasi dengan Semua Fasilitas RS
Dokter Obgyn yang praktek di Rumah Sakit terintegrasi dengan semua fasilitas yang dimiliki rumah sakit. Sehingga jika ada pemeriksaan atau tindakan medis yang harus segera dilakukan, Dokter dapat segera menghubungi bagian-bagian terkait di rumah sakit. Misalkan diperlukan analisa laboratorium, pemeriksaan USG 3 atau 4 dimensi, CTG (Cardiotocography) atau lainnya.

3. Terintegrasi dengan Dokter Spesialis lainnya
Dokter Obgyn yang praktek di Rumah Sakit juga terintegrasi dengan Dokter Spesialisasi lainnya yang juga berpraktek di Rumah Sakit tersebut. Hal ini memudahkan kita sebagai pasien jika Dokter Obgyn memerlukan konsultasi dari Dokter lain, misalnya perlu dirujuk ke Dokter Internist, Anesthesi atau lainnya. Hemat waktu dan tenaga karena tidak perlu jauh-jauh mencari dokter rujukan.

4. Integrated Medical Record
Salah satu keuntungan menjadi pasien sebuah Rumah Sakit adalah memiliki rekam medis yang lengkap dan detil. Sehingga jika diperlukan penanganan oleh Dokter lain, dokter dapat mengetahui riwayat kesehatan kita dengan lengkap tanpa kita repot-repot menjelaskan kembali dari awal. Dengan demikain, penanganan pun dapat dilakukan dengan optimal.

5. Fasilitas yang Lebih Nyaman
Rumah Sakit biasanya memiliki fasilitas yang lebih nyaman dibanding praktek dokter pribadi.

  • Ruangan tunggu dan ruang praktek dokter ber-AC. Sangat membantu ibu hamil yang mudah kepanasan.
  • Ruang tunggu yang lebih luas dengan jumlah kursi yang lebih banyak. Membuat bumil dapat duduk lebih nyaman tanpa harus berdesak-desakan dengan pasien lain karena jumlah kursi yang terbatas.
  • Parkir yang luas, bahkan beberapa Rumah Sakit memiliki lahan parkir di basement. Bumil bisa turun dari kendaraan dengan tenang dan didampingi suami atau keluarga lainnya, bahkan di saat hujan deras sekalipun. Tidak perlu drop off, buru-buru turun atau takut tersambar kendaraan lainnya.
  • Lift atau eskalator . Bumil tidak perlu kuatir kelelahan kalau harus berpindah ruangan  di lantai yang berbeda.
  • Cafetaria, mini shop, kantin, cafe. Jika diperlukan makan dan minum selama menunggu, fasilitas ini sangat membantu bumil memenuhi kebutuhannya.

Sementara hal-hal tersebut biasanya tidak didapatkan di Dokter praktek pribadi :
1. Tidak semua tempat praktek dokter pribadi memiliki fasilitas pendukung yang lengkap.
2. Praktek dokter bersama biasanya hanya diisi oleh beberapa dokter spesialis.
3. Rekam medis disimpan oleh masing-masing Dokter yang kita kunjungi, tidak terintegrasi satu sama lain.
4. Fasilitas terbatas dan kurang nyaman : ruang tunggu sempit dan kursi terbatas, parkir tidak luas, dll.

Rumah Sakit Umum atau Rumah Sakit Ibu dan Anak ?

Aku lebih memilih Rumah Sakit Ibu dan Anak. Kenapa?

1. Segmented Patient
Sesuai dengan namanya, pasien RSIA biasanya adalah wanita, ibu hamil, bayi dan anak-anak. Penyakit yang dikeluhakan pun hanya seputar masalah kewanitaan, ibu hamil dan penyakit yang biasa diderita bayi dan anak-anak. Kita tidak akan bertemu dengan pasien penyakit jantung yang sedang anfal atau penderita dengan infeksi yang berat.

2. Tenaga Medis tersedia 24 jam
Hampir setiap jam, ada saja Dokter Obgyn yang praktek, sehingga pasien dapat selalu ditangani. Menjelang malam, ada IGD dan bidan yang stand by 24 jam.

3. Fasilitas Pendukung Lengkap
Karena memang memfokuskan diri pada perawatan ibu dan anak, fasilitas pendukung yang berhubungan dengan penyakit yang diderita ibu dan anak pada RSIA biasanya juga cukup lengkap. Seperti USG 2, 3 atau 4 Dimensi, CTG, laboratorium, radiologi, dll.

4. Program pendukung ibu hamil
RSIA biasanya dilengkapi dengan program-program yang dapat dimanfaatkan ibu hamil selama kehamilan dan menanti persalinan, seperti senam hamil, kelas persiapan menyusui, kelas perawatan bayi, dll.

5. Lebih Nyaman
Suasana Rumah Sakit biasanya lebih tenang, tidak hiruk pikuk seperti RSU. Bertemu dengan pasien yang rata-rata wanita dan anak-anak juga menyebakan bumil merasa lebih tenang karena berada dalam atmosfir keluarga.

6. Persiapan Persalinan dan Perawatan Kesehatan Anak
Kita dapat booking kamar untuk persiapan persalinan sejak jauh-jauh hari. Setelah lahir pun, bayi dapat segera ditangani oleh ahlinya dan fasilitas yang mendukung.

Nah, Moms pilih yang mana?